“Dia, perempuan yang sama...”





... Dia menyisiri rambutnya, seperti biasa sambil bercermin dan melihat bayangannya di sana

Biasa... Tak ada hal yang cukup atau terlalu istimewa

Sambil merenungi apa yang sejauh ini sudah dia alami
Seketika dia menyadari bagaimana dirinya kini

Bulir-bulir air mata mulai menggelayut di kelopak matanya
Batinnya, “Mungkin aku sudah terlalu muak dengan semua harapan kosong ini!”

Tetapi sekali lagi, bayangan dirinya seakan ingin berkata, “Mari kita coba lagi. Selalu ada hari baru untuk sekedar memperbaiki atau bahkan mengulang lagi, bukan?”

Dan dia menolak untuk melemahkan dirinya sendiri

Setiap hari, setiap hari adalah masa dan waktu yang dipakainya untuk berjuang

Berjuang atas segala kejanggalan yang mesti dia hadapi

Berjuang atas semua mimpi yang masih dan terus dia kejar dan dia yakini

Berjuang atas segala prinsip yang kadang luluh lantak kemudian ditata ulang lagi

Berjuang meyakinkan, pertama-tama dirinya sendiri lalu kemudian orang lain yang ada di sekitarnya

Berjuang mendapatkan sesuatu yang benar-benar dia ingini...

Karena setiap hari adalah perjuangan, medan tempur yang harus dimenangkan
Dia memilih untuk tetap menjadi dirinya

Bukan menjadi sesiapa yang berbeda

Dia, masih perempuan yang sama...

Yang setiap pagi bangun untuk selalu mengusahakan yang terbaik bagi orang yang dikasihinya

Yang setiap hari selalu berusaha untuk peduli kepada sekelilingnya

Yang setiap hari berpeluh untuk melakukan segelintir tugas rumah tangga

Yang setiap hari masih berusaha untuk membereskan kain kotor, cucian dan piring-piring berserakan

Yang setiap hari berusaha menciptakan sajian terbaik untuk santapan lelakinya yang lelah karena bekerja

Yang setiap hari juga masih bertekad bulat dan berusaha untuk tetap menjadi pintar dan bijaksana 

Yang setiap hari masih berupaya melakukan yang terbaik untuk anak didiknya

Yang setiap hari masih berusaha untuk bersosialisasi, meski kadang harus menjadi sedikit berbasa basi kosong karenanya

Yang setiap hari masih berupaya untuk merapikan dan menata halaman depan dan belakang

Yang setiap malam merapal doa untuk kekasih hatinya, untuk orang tua dan saudara juga sahabatnya

Yang setiap malam memandangi wajah lelakinya yang pulas lelap sementara dia masih terjaga oleh insomnia

Yang setiap hari bisa saja menjadi lemah karena kelelahan dan kejenuhan yang mendadak melanda

Dia, yang setiap hari...

Ya, “dia”

Yang setiap hari masih terus berharap akan satu hal yang sama: Mujizat yang menjadi nyata dalam hidupnya


Dia... 

Memang masih perempuan yang sama

-Duri, 29.09.2016-

Kini Kita





Mencintai jiwa adalah sebuah keniscayaan
Percaya bahwa raga hanya sebatas jubah indah yang dikenakan pada setiap orang
Bisa berubah kapan ia mau
Tapi jiwa, tak pernah bicara bohong, tak pernah mengada-ada

Apa kita bisa bilang, kita menang, sayang?
Apa benar kita sudah berjuang?
Apa benar kita sudah mengalahkan sesuatu?
Barangkali, waktu?

Ah, sudahlah
Pun begitu, Sang Waktu adalah satu-satunya piala kebanggaan yang kita punya
Ini waktu kita: tak ada kalah, tak ada menang
Yang kutahu hanya, inilah waktunya kita menyatukan bahasa kita, bahasa kasih, bahasa cinta
Kekinian ini adalah milikku satu-satunya yang mengingatkan bahwa, ya, kita kini bersama
Keabadian sayangnya bukan milik kita, maka biarlah jiwa kita menjadi kekal di dalam kekiniannya

Mari berbicara dalam satu bahasa yang hanya kita yang mengerti: cinta
Mari berjalan bersama dalam segala keberadaan dan ketiadaan kita
Mari tetap menjadi satu, sama seperti kemarin, kini, sampai kematian yang memisahkan raga kita.
  
Berbahagialah kita, yang terkasih. Selamat menjadi satu untuk kita berdua. :)

Celebrate the love, 28.11.15 

Teh manis panas di hari yg panas...





Jadi ceritanya, saya sudah hampir 6 bulan (sejak tesis-yang dengan susah payah akhirnya- selesai juga) tidak menulis sesuatu yang non-ilmiah. 
Entahlah, sulit lagi rasanya untuk memulai sesuatu yang sudah lama tak dikerjakan, meskipun itu adalah hobi, tapi kehilangan selera karena sudah dibiaskan dan dibiasakan untuk terus serius membaca dan memikirkan hal-hal ilmiah, akhirnya kreativitas dan mood untuk menulis ambyar, ludes, des, des, ditelan teori-teori linguistik. 

Well… tapi jika memang ada kemauan, ini pun harus dipatahkan, bak kata Chaedar A. “Pokoknya Menulis!”, ini juga yang menohok saya… Kok patah semangat, mulai saja belum, kenapa malah berhenti?

Oke, saya coba untuk menulis lagi.Kali ini non-ilmiah lah...
***

Satu pagi di bulan Agustus, di tahun 2009… 
Hari itu menyelip di antara tanggal-tanggal di almanak bulan delapan, tak ada yang khusus, tak ada yang spesial, tak ada yang istimewa, semua terasa biasa, terasa rutin dan sederhana. 

Langkah terburu dengan irama tak beraturan mengantarkan aku menuju kampus pagi itu. 
Ya, seperti biasa, kuliah akan dimulai pukul delapan pagi. 
Katanya sih, “delapan Teng!”, nah lho… sementara aku masih berburu jalan setapak menyusuri kepadatan motor-motor berseliweran juga diselingi sepeda, becak bermotor, dan puluhan mahasiswa lainnya yang juga berkasus sama: Nyaris Telat.

Aku, entah kenapa di penghujung masa kuliah S1 cukup mencetak rekor di dunia keterlambatan kehadiran di kampus untuk kuliah pagi, bahkan tak jarang nilai kehadiranku selalu di”minus satu”kan oleh dosen yang mengampu mata kuliah pertama di pukul 08:00 WIB. 
Tak masalah, mungkin karena sudah (di)biasa(kan)?
Kelonggaran soal waktu pagi itu aku terima, mungkin, ya, seingatku memang bulan itu adalah bulan puasa, jadi wajar saja kalau ada kelonggaran sedikit, sayangnya aku tak bertanggung jawab, memanfaatkan situasi itu, hahaha, tak patut ditiru.

Jam demi jam berlalu, dua mata kuliah selesai. Karena tak ada aktivitas lain, akhirnya aku mengiyakan mengikut temanku nongkrong di kampus saja sebentar…
***
Dev (teman di S1) ini pernah berkelakar soal temannya di masa SD, katanya “Aku punya teman, iya, dulu si Vic itu, anaknya paling rapi, paling bersih di antara teman-teman lain yang ada di kelasku… Yang lain pada gadel, pada buluk, tapi dia berbeda, …”
Cerita itu panjang, kesudahannya membuat aku tertarik, “Apa iya masih ada laki-laki macam itu di dunia antah berantah ini?” telisikku dalam hati. 

Tawarannya untuk berkenalan dengan teman lamanya semasa SD itu aku terima, kenapa?

Entah.

Aku terbilang unik, karena mendengar cerita temanku ini, aku jadi tertarik. Teman SDnya itu orang yang seperti apa, pikirku… aku penasaran.


Kebetulan hari itu, Vic berkunjung ke kampus kami, hanya sekedar untuk say hi ke temanku Dev, barangkali untuk refreshing juga dari kondisi monoton di kotanya, yang juga sedang mumet-mumetnya membereskan skripsi (waktu itu kita sama-sama kuliah di semester penghabisan). 
Wajar sajalah, pikirku. Ini sih seperti kunjungan teman lama biasa. 
Tunggu… Tapi, apa mungkin ada sesuatu yang spesial ya antara dia dan temannya itu? Entah, aku pun ingin tahu tapi menolak untuk mencari tahu.  

Singkat cerita dia datang dan kami menjanjikan untuk bertemu di depan gedung H (Gedung Prodi Sejarah) di FIB itu. 

Melihat Dev, dia tersenyum, mengulurkan tangan dan bersalaman sambil bercengkerama tentang kehidupan sekolah dasarnya di kampung mereka. 
Aku waktu itu memilih diam, mengamati, dan biasa saja menanggapi obrolan mereka. Tak ada yang khas.

Tak berapa lama, Dev memperkenalkan aku, “Ini Ra, yang dulu aku pernah ceritakan,” katanya. 
Dengan ekspresi tanggap cepat aku menyambut jabat tangannya “Oh, ya, ya, Dev banyak cerita tentangmu…,” timpalku. 

Dia mengernyit bingung, “Banyak cerita? Dev, cerita apa aja???” 

Hahaha, barangkali dia takut ada cerita yang terpeleset yang sampai ke telinga? Biasa sajalah, tak ada yang salah kok.

***
Mulai lapar.
Waktu itu segala rumah makan dan kafetaria tutup (karena  bulan puasa), tapi kebetulan, ada satu yang (setengah) buka. Kami memutuskan untuk setidaknya minum di sana.
(Biasa. Biasa sekali.)

“Dua es teh ya Bang!” katanya memesan ke penjaga kantin. 

Kenapa es teh? 

Ya jelas, karena hari itu memang super panas dan terik, apalagi Medan memang akhir-akhir ini memanas sekali suhunya, entah karena kebocoran ozon atau karena waktu itu lagi musimnya Pilkada.

“Satu teh manis panas ya Bang,” giliranku memesan.

Raut muka yang menyiratkan kebingungan muncul di wajahnya. 

Aku tahu persis, apa yang dipertanyakannya dalam hati :”Kenapa di hari sepanas ini, dia malah pesan minuman yang panas?”

Simpan itu dalam hatimu, pikirku. Nanti kau pasti temu jawabannya.

Sejam mengobrol sambil menghabiskan minuman, kami kemudian berpisah.
Mereka memutuskan untuk pergi lagi ke lain tempat, shopping atau bertemu teman lain barangkali, dan aku memutuskan untuk pulang, makan, lalu tidur siang.

***
Lalu? Apa yang spesial?
Tak ada.

Sampai dia memutuskan untuk mengalahkan rasa penasarannya tentangku, dan aku memutuskan untuk menerima tantangan tentang penasaran itu.
Lalu,
Siapa yang menyuruhmu, memberanikan diirmu untuk meminta nomor ponselku malam itu? Entah.

Siapa yang membuatku menerima pertanyaanmu dan menjawabnya dengan balasan pesan singkat malam menjelang subuh itu? Entah.

Apa yang membuatmu penasaran dengan pesananku di kantin (si teh manis panas) itu? 

Kenapa kau ingin tahu kenapa aku memesan itu?

Bagaimana kau bisa menebak isi kepalaku yang juga penasaran tentangmu? Entah.

Siapa yang menduga kita bertemu di hari yang biasa, dengan situasi dan suasana yang juga biasa, akhirnya membawa kita kepada sesuatu yang luar biasa dan sangat tidak biasa? Entah.

Siapa yang menduga segala yang sudah terjabarkan lewat berbagai cara, surat dan sirat, membuat kita semakin sadar bahwa ini bukan sesuatu yang mudah?

Siapa yang menduga pada akhirnya kita memutuskan untuk membawa perasaan kepada sesuatu yang lebih dalam? Entah.

Siapa yang bisa menduga, kita, yang masing-masing adalah pemikir dan pendiam, bisa bersama-sama menyelesaikan masalah dan konflik dalam bahasa yang santun dan penuh etika? Entah. 

Siapa yang bisa menduga, akhirnya kau dan aku memutuskan untuk bertemu, sekedar bertegur sapa, dan kemudian akhirnya menyatakan pada semesta bahwa “Ya, dialah orangnya”? Entah.

Segala tanya itu, segala entah itu, akhirnya kurangkum dalam sebuah tulisan yang terkesan klise.
Tuhan, lewat semesta ciptaan-Nya ini, memang paling bisa mencari cara untuk mempertemukan partikel-partikel yang tarik menarik, barangkali?

Katanya, hati akan terus mengembara kemana dia ingin mengembara, hanya untuk menemukan getaran yang sama dengannya. 
Lucu. 
Segala yang terjadi aku yakini sebagai master plan Sang Maha.
Semesta memang tak pernah bisa ditebak, apa maunya, apa hendaknya, tak bisa diketahui pasti.
Demikianlah, kita.

Lima tahun sudah menyusuri segala garis-garis tanda tanya dan tanda-tanda lainnya. 
Berusaha merangkai cerita di dalam jarak spasial yang membentang.
Tak habis pikir aku, keputusan berat ini diambil dengan begitu beraninya. 
Jarak, bagi kita seolah perkara biasa yang bisa diselesaikan oleh komitmen dan keyakinan.
Itulah kita.

Unikmu memang menjadi pemantik rasa ingin tahuku.
Unikku memang menjadi pemantik rasa ingin tahumu.
Kita unik. Kita berbeda.

Ya. terima kasih Semesta, terima kasih Sang Maha.
Jutaan manusia di luar sana, ada berapa yang dipertemukan dalam skenario yang sepertinya sebuah kebetulan namun bukan kebetulan?
Tentu ada. Banyak, barangkali.
Dan kami adalah satu di antaranya.

Note:
Setelah mengenal aku selama 5 tahun, akhirnya dia jujur tentang pesananku di kantin waktu itu, dalam hati dia berpikir “Kenapa tua sekali pesanan cewek semuda ini? Pesan teh manis panas di hari yang panas, cocoknya adalah pesanan yang diminta Bapak-Bapak paruh baya, atau Oppung-Oppung*  berusia senja.”
"Sialan!", pikirku.

Hahaha.
Setelah aku ceritakan alasannya, dia bisa terima. Iya, aku terpaksa menebalkan muka, semua demi kesehatan badan.

***
Lima tahun yang tak mudah sudah kita lalui, dua tahun yang mempertegas keadaan ini pun sudah kita nikmati dalam segala pasang surutnya… 
Yakin dan pasti, tahun-tahun di masa yang akan datang pun akan teratasi dengan senjata pamungkas kita: komitmen akan cinta kasih dan keyakinan.
Semoga akan ada tahun-tahun mendatang untuk kita ya, Meine Liebe.
Happy 2nd Anniversary of Our Official Relationship, :p
Memperingati 23 Agustus 2012-23 Agustus 2014.
(maaf baru kasih tulisan flashback, baru ada mood lagi untuk nulis, Bang.) :D




BAHASA



Cukupkanlah diri ini, agar tak lagi meminta hal yang tak mungkin kau berikan.
Segala numerik dan formula yang memadat-sesakkan isi kepala, mungkin tak akan menjelma menjadi diriku dalam imajimu,
Namun, aku tetaplah aku...
Seseorang yang kau kenal tanpa perlu membuat kalkulasi dan perhitungan dalam angka,
Karena aku hanya butuh bahasa dalam rupa kata sebagai rahim yang melahirkan makna.
Bahasa yang meluluhlantakkan segala tanda tanya,
dalam sekat-sekat perbedaan yang kadang mengerucut menjadi kemarahan,
Bahasa yang meniadakan segala keraguan,
dalam celah-celah ketidakpastian kehidupan.


12:15 AM
Wed, 6.11.14

Lampu jalan. Lampu taman.



Pic source: http://distilleryimage10.s3.amazonaws.com
Lampu taman, Lampu jalan
Lampu-lampu taman
Lampu-lampu jalan
Menyala ketika senja tiba
Menyala ketika malam mulai menyapa

Lampu jalan, lampu taman
Menjadi saksi-saksi dalam kebisuan
Tentang hari ini, tentang segala macam kisah kehidupan



Tentang pedagang rokok yang menjajakkan rokok batangan dengan harga ketengan
Berharap orang-orang mampir untuk menyulut api padasebatang-dua batang tembakau lintingan
Untuk sekedar menyisipkan pilu di tiap bakaran
Untuk sekedar menuangkan luka di tiap embusan
Untuk sekedar menumbuhkan perasaan nyaman
Untuk menjadi lega karena asap yang mengepul dalam rongga dada
Menyesakkan, namun entah mengapa tetap menyenangkan
Katanya...

Tentang pedagang asongan yang menawarkan aneka jajanan
Yang mulai menyiapkan keranjang berpenutup kain sebagaiwadah penyimpan
Barang dagangan yang hari ini tak juga kunjung terjual,karena langit berawan atau hujan atau macam-macam alasan
Menumpuk rapi bungkus-bungkus plastik bening dan berwarnamenarik dalam kemasan
Dengan rona yang kusam dan masam karena hanya mengantongirupiah senilai lima atau sepuluh-ribuan

Tentang wajah-wajah lelah orang kantoran
Yang kusut masai karena hari ini dikejar oleh deadline pekerjaan
Yang harinya semakin dikacaukan oleh kemarahan dan kemurkaanpejabat dan atasan
Menyudutkan, memojokkan jongos-jongosnya karena berbagaimacam kesalahan

Tentang langkah lunglai anak-anak sekolahan
Yang siang tadi masih sanggup dan bertenaga untuk berlarian
Lalu ketika senja datang menyapa mulai menyurutkan nyalasemangat mudanya
Karena sejuta tanya yang tiada pernah terjawab lebih dinitentang hari esok atau lusa
Atau karena padatnya jadwal ujian dan tugas-tugas harian
atau  mungkin karena cerita cinta masa muda yang katanya masih berupa roman picisan
Atau malah keduanya...

Tentang tangan-tangan hangat yang erat bergandengan
Sebagai satu atau dua pasangan yang melintas dan duduk dibangku taman
Berbicara tentang harapan dan bualan tentang masa depan
Di bola mata mereka terpancar bara api cinta yang sepertitak pernah terpadamkan
Sedang di sudut lain taman membuncahlah sebuah kemarahan
Terlontarkan ke udara lewat nyaringnya suara tangisanpenyesalan
Mencaci, menggerutu, cemberut, menghanyut dalam kemuraman
Karena sudah habislah segala cerita masa kini dan masa depanyang katanya akan melukiskan kebahagiaan
Berakhirlah di malam ini, di antara derit gerobak usang pemulungdan bunyi riuh jangkrik bersimfoni di udara
Ya, ternyata tak lagi ada cinta di sana
Katanya

Tentang kupu-kupu malam yang bersandar di tembok-tembok kota yang dingin
Tersapu oleh angin malam yang menusuk sampai ke persendian
Berharap satu atau dua pengendara singgah untuk sekedar bertegur-sapa atau bahkan meminta kenyamanan yang siap segera akan disajikan
Dalam balutan aroma dan geliat yang tak bisa dilukiskan
Karena kata-kata terlalu sederhana untuk mewakili rasa nyaman yang meluap-luap di setiap regukan kenikmatan

Tentang laron-laron yang sejenak kegirangan
Tak mau kalah dengan mereka-mereka yang larut dalam geliat malam
Menyambut datangnya temaram lampu-lampu jalan danlampu-lampu taman
Lincah beterbangan dan berhamburan karena binar lampu-lampu dinikmatinya dalam kekaguman
Untuk kemudian patahlah sayapnya dan kembali mendaratkandiri ke bumi
Menunggu datangnya petugas kebersihan yang mengayunkan sapulidinyakian kemari
Membersihkan puing-puing sayap dan tubuh laron ke dalampengki
Hingga sempurnalah warna dan wajah bersih kota di pagi hari

Lampu padam

Terang matahari datang menggantikan

Lampu padam

Deru dan gebu kota mulai meneriakkan segala kegalauan dankeriuhan
Bisingnya knalpot kendaraan, bus dan angkutan yang saling berkejaran
Kota dan manusia dalam denyut yang saling beriringan
Berbaur dan bercampur, menjadi satu sisi lain kehidupan

Ya, karena siang dan malam selalu datang bergantian

Demikianlah
Lampu-lampu taman padam.
Lampu-lampu jalan padam.
Nyala merah matahari datang menggantikan
Hari ini, kira-kira apa lagi gerangan…


*Singgahlah catatan ini dalam kepala ketika berjalanmenyusuri trotoar kampus menuju kosan. Diiringi alunanlembut “Streetlights”nya Josh Rouse yang mendayu dan merayu. Manis dan inspiratif. Memaksa sisi melankolis untuk keluar dan meretas menjadi sebuah catatan singkat. :)

Rabu berawan.
Tahun 2014,bulan pertama, hari kedelapan.
-Ra-