tuliskan judulnya...



aku ingin bercerita, tentang apa saja...
siapa yang bersedia menyendengkan telinganya?
beri aku waktu
beri aku ruang
aku ingin bercerita, sudikah mendengarnya?

aku manusia yg serba salah
ibarat burung gereja yang tua renta
mengumpulkan sisa-sisa semangat dalam hidupnya
untuk setidaknya menjalani satu tahun lagi saja...

ya, satu tahun lagi saja...!



teman, bagiku seperti harta..
tapi entah kenapa, semakin aku menyayanginya, semakin dia tak menyayangi aku
kenapa...

aku mungkin terlalu menjaganya sepenuh hatiku
aku mungkin telah menggenggamnya terlalu erat sampai aku tak sadar
bahwa aku telah menyakitinya...

tiap hari aku berkubang dengan aksara dan kata
tiap hari kulumuri kaki tangan muka mata dan telinga dengan bahasa...
tapi aku sendiri tak mampu berbahasa...
aku bisu!


#efek teh dengan rasa yang amburadul di penghujung hari#




Ingat? 
Dulu aku pernah bilang padamu...

Aku si gagu
Yang tadinya membisu
Kini mencoba peruntunganku
Bicara, meski mungkin tak didengar
Tapi aku si gagu
Yang mencoba peruntunganku
Dengan bahasa sebagai perisaiku

Aku ini tak banyak bicara, tadinya
Tapi kadang aku ingin bicara
Bahasa sebagai alatnya
Aku ini bunuh diri, rasaku…
Aku si gagu
Yang mencoba peruntunganku
Dengan bahasa sebagai baju jirahku

Aku ini banyak mendengar
Tapi kadang aku ingin didengar
Meski seolah terlihat gusar
Tapi sesekali aku ingin didengar

Aku ini kenapa? Kataku…
Aku merasa sangat setengah-setengah hari ini….
Apa sih mauku? tanyaku…

Aah, aku ini tua di umur saja,
Aku tumbuh besar dan “dewasa”
Tapi dalam soal memilih aku masih persis seperti anak kecil
Yang selalu dan akan selalu dibingungkan
Hanya karena perkara sepele:
Kebingungan memilih lolipop warna apa yang akan dibeli dengan uang lima ratus perak..!!
Memalukan!!!


-efek secangkir teh dengan rasa yang amburadul di penghujung hari ini-
12.11.11

#selaraskanlah semuanya...#




Aku terpukul dengan sebuah kalimat yang berkata:
“Jangan lewatkan seharipun untuk menulis tentang pengalamanmu di hari itu, karena waktu tak akan pernah kembali”

Jadi, Aku menulis…karena aku takut aku akan kehilangan hari ini...

Malam ini, 26 Oktober 2011, di jam yang nyaris sama dengan malam-malam kemarin… aku merasa benar-benar kehilangan semangat untuk berbuat, apapun, termasuk tugas dan tugas dan tugas, revisi dan revisi dan revisi, apalagi soal yang satu ini: menenggak sebutir dua butir bola-bola kimia -yang aku tak tau apa kandungan didalamnya- berharap segara dapat sebuah kesembuhan, tapi nonsens!
Aku harus bersyukur…. (semua orang bilang begitu),
Jangan selalu memandang ke atas, sesekali lihatlah ke bawah ke arah orang-orang yang tidak seberuntung kamu…
(semua orang juga bilang begitu)

Yah… aku (semestinya) memang harus bersyukur…

Bersyukur, ketika udara dingin menyergap tubuhku dan seketika itu juga aku harus mendehem dan terbatuk karena rongga sinus yang dihuni oleh bakteri… Mereka bilang, alergi!

Bersyukur, ketika saraf di kepala menegang dan membuat dahi berkerut menahankan sakit, memikirkan dua atau tiga atau lebih masalah yang masih belum menemukan solusinya sendiri… Mereka bilang, migrain!

Bersyukur, ketika lambung serta merta mengeluarkan asam yang keterlaluan jumlahnya, membuat perasaan jadi tak keruan, ingin muntah, ingin makan, lalu muntah lagi, lalu kehilangan selera dan begitu seterusnya… saat berpikir, dari kepala, sang otak mungkin turut mengirimkan isyarat pada sang lambung untuk membantu berpikir? Bukankah lambung tempat bermuaranya makanan yang aku makan untuk diolah? Kenapa seolah-olah lambung ikut berpikir?
Perih… mual… ingin muntah…
Mereka bilang, maag akut!

Bersyukur, ketika aku harus merasa asing ditengah ragaku sendiri… merasa ‘aneh’ atau kusebut saja merasa “beda” dengan diriku sendiri…
Baik…
Mereka bilang, (aku tak mendengar mereka bilang apa-apa soal yang satu ini…)

Demikianlah…
Sungguh benarlah aku harus berjuang untuk memaknai hidup yang seperti ini dengan rasa syukur yang porsinya lebih banyak…
Harus…
Harus…
Tapi Tuhan, bolehkah aku meminta setidaknya sedikit saja kekuatan untuk bisa menjalani hidup ini, lebih dari apa yang kubayangkan, aku ingin hidupku menjadi bermakna, bukan terbatas karena raga, tapi aku tak terbatas karena aku punya hati jiwa dan logika… selaraskanlah semuanya ya Tuhan…
-fin-

Perjalanan kembali menuju nurani: masih adakah?




Ada....

***
Masih cukup fresh dalam ingatanku, masa-masa akhir SMA, masa dimana aku dan kawan-kawan diharuskan dan diwajibkan untuk melihat dunia dari sisi yang berbeda, dari sisi yang terendah dari yang rendah. Menyelami hidup kaum yang terpinggirkan, kaum yang terabaikan, kaum yang katanya ”marginal”.

Oleh seorang guru, bisa aku sebut inisial namanya? Sebuah apresiasi yang hebat untuk Sang Guru, Bapak A.P.Tambunan, yang notabene adalah guru Pendidikan Agama di sekolahku dulu di Perguruan Kristen Immanuel Medan, kami diajak untuk mulai membuka wawasan tentang dunia diluar lingkungan kami sehari-hari. Tak heran, tak sedikit anak-anak murid yang menggerutu karena tuntutan tugas akhir itu.

Celetukan ”Buat apa tugas yang kayak gitu?” atau sekedar teriakan penolakan semacam ”huuuuuu...” banyak kudengar, (termasuk aku juga yang merasa tugas akhir ini agak ekstrim, apalagi harus turun langsung ke lokasi..  ”alamak, gimana ini nanti”, pikirku dalam hati).

Singkat cerita, waktu itu kami diberi kesempatan dan waktu untuk memilih lokasi yang akan kami kunjungi, terserah, entah lokasi itu di daerah pinggiran rel Kereta Api, atau bantaran kali... dan yang anehnya, aku dan kawan-kawan (seingatku waktu itu aku bersama 3 orang temanku yg lain dari kelas yang sama -III IPS 1-, Dina, Kd n Jessy) memilih lokasi yang cukup unik, dan aku rasa kami cukup nekad memilih lokasi itu. Kami memilih TPA sebagai lokasi studi lapangan kami... hahahaa... (Oh My God, ga pernah kebayang buat ngelakuin hal-hal diluar standar anak SMA kayak gini, hiiiiy!).

TPA Namu Bintang, -Tempat Pembuangan Akhir- Namu Bintang, kami memilih untuk studi lapangan kesana maksud hati memang untuk mendapatkan lokasi yang cukup berbeda dari kawan-kawan yang lain.

Dengan pikiran yang masih cetek dan belom bisa membayangkan apa-apa tentang kondisi disana... hanya bermodalkan pena, buku tulis, kamera (dengan resolusi ala kadarnya, hehehe), berkendarakan angkot dengan masih mengenakan seragam putih abu-abu lengkap dengan sneakers, kami mantapkan kaki dan hati untuk beranjak dari Slamet Riyadi menuju pinggiran kota Medan itu. Prinsipnya ”what will be, will it be-lah!”, hehe...
***

Yup! We’re here... sekira 25 menitan dari sekolah kami tiba di lokasi, tepatnya di simpang jalan menuju lokasi, as you know yang namanya TPA ngga mungkin letaknya di pinggir jalan raya ’kan? Jelas saja kami harus jalan setidaknya 10 menitan untuk masuk ke area TPA yang sebenarnya, huhuhuhahaha...

Sniff..sniff... Ehem! Aroma yang tidak asing lagi mulai tercium, aroma yang timbul tenggelam hinggap di indera penciuman kami itu tak lain tak bukan asalnya adalah BAU SAMPAH.
Yuk ah, keep goin’ on... kita udah milih lokasi ini, jadi harus tetap pegang prinsip tuntaskan dan selesaikan apa yang udah dipilih! Siiip...

Makin dekat..makin dekat... Adaaaw!!! Makin nusuk nih baunya.... (sambil jalan, telapak tangan udah disekapkan didepan hidung buat menghalau udara berbau busuk itu masuk...!)

Kami sampai di lokasi TPA Namu Bintang. Hal pertama yang dikerjakan adalah... lapor ke pos penjaga untuk minta ijin (kalo ga salah sih waktu itu juga pake surat pengantar studi lapangan dari sekolah...), sesudah ijin dikantongi, langsung capcus masuk menuju ke LOKASI yang SEBENARNYA.

And....then... TARRRRAAA!!!!! Yeaaah, here we are!!!

Pikiran di kepala langsung gonjang ganjing… semula yang kami kira sampah di TPA itu modelnya cuma kayak pembuangan sampah di ujung jalan rumah, ya, sampah se-RT/ RW yang jumlahnya ngga begitu menggila, sekejap bagi kami ini semua hampir berubah jadi kayak malapetaka.
Kenapa???

Ya jelas saja, sampah di TPA itu tingginya sekira 5 meteran, dan baru kali ini kami lihat dengan mata dan kepala kami sendiri  ternyata ada ya gundukan sampah tingginya hampir menyamai tinggi lantai dua sekolah kami, ya itu tadi, 5 sampe 6 meteran… Gila!!!

Dengan mata membelalak dan mulut menganga (entah karena heran, takjub, ngeri atau apa....) kami menahan langkah kaki sesaat di jalan setapak  untuk masuk menuju lautan sampah itu.

Ekh... nyali menciut... merasa sanggup atau ngga buat lanjutin tugas ini...
Tapi syukurlah, dengan kekuatan bulan dan kekompakan tim dan kebulatan tekad kami berempat tetap maju mundur pantang terus, ehm... maju terus pantang mundur maksudnya... (+_+)a


***
Clak! Clak! Clak!
Bunyi langkah kaki kami menginjak tumpukan sampah yang terendam air karena diguyur hujan kemarin, ada bagian yang kering, ada yang basah juga... mana yang dimana, udah ga bisa dibedain lagi-lah, yang ada semuanya jadi rata... sama baunya! Sama joroknya! Hiaaaa....

Jepret! Jepret!
Sambil celingak celinguk kiri kanan sambil ngambil foto dengan kamera seadanya itu... berharap dari fokus kamera bisa nemuin seseorang yang bisa diajak bicara, bukan karena bersahabat atau apa, tapi lebih tepatnya kita nyari seseorang yang lowong dan ngga lagi berada di posisi yang tak terjangkau, (perlu diingat, tumpukan sampah yang satu ke tumpukan sampah yang lain agaknya lagi bermusuhan, entah kenapa mereka dipisahkan oleh celah parit yang ukurannya kurang lebih semeteran...) jadi kalo harus lompat menuju lautan sampah yang luas disana itu rasanya agak gimanaaaa gitu... kami masih pengen hidup, belom mau mati...bukan karena tenggelam, tapi karena baunya, ga tahaaaaannn....

Tatapan berpasang-pasang mata dari wajah-wajah lelah para pemulung sampah agaknya mulai mengganggu proses pencarian kami, ngerasa agak canggung kalo diliatin kayak gitu, karna tatapannya bukanlah tatapan kagum kayak lagi ngeliatin artis lewat, tapi lebih kepada tatapan ngeliatin alien lewat... alien kesasar pula, ga nyambung aja kok ada siswa SMA cewe-cewe semuanya ujuk-ujuk nimbrung mendadak mulung di TPA...
Kalian bingung...???  sama, kita juga... :p


***
Lanjutken...

Celetuk salah seorang dari anggota kami, ”Woi, mau jalan sampe mana niii?”
Ups...! baru sadar, agaknya kami udah berjalan terlalu dalam... ya udah, kami putuskan untuk berhenti disitu kemudian searching disekitaran aja, siapa tau ada yang lagi nganggur, ga enak juga kalo mengganggu kerjaan mereka...

Waktu itu kami benar-benar berusaha untuk bersikap wajar, ngga pake nutupin hidung, nutupin rambut (takut wangi shampoo-nya ilang, hahaha, sowat dah...!), apalagi nutupin muka (nah kalo ini malah dikira tersangka razia...), takut kalo kami malah jadi gangguan buat mereka, kami berusaha untuk bertahan... tersenyum meski dalam hati udah cemberut kayak jeruk purut, tapi ngga masalah, yang penting tujuan utama terselesaikan!

Sampe kami liat ada seorang ibu lagi istirahat di pondokannya (pondokan ini juga dibangun atas dasar sampah, oleh sampah dan berbahan dasar sampah-sisa sisa tenda yang dibuang). Siiip-lah! Ini bisa dijadikan narasumber nih...kami berpikir cepat, trus langsung datang mendekati si ibu...

Senyam senyum ga jelas, cengengesan sambil ngomong, ”Permisi Bu, maaf mengganggu... kami boleh tanya-tanya dikit ngga, Bu?”

Si Ibu dengan ekspresi yang masih agak bingung menjawab, ”Oh, boleh dek...ada apa ya?”
”Ada sampah yang masih bisa dipake ga bu??” ee, Bukaaann...!

”Uhm, kami dari SMA PKIM, mau wawancara dikit Bu... tentang semua-semuanya...tentang kehidupan disini, tentang keluarga ibu, gitu kira-kira...”

”Oh.. Boleh dek, naik aja kesini, awas itu ada truk sampah mau lewat...”

Tiba-tiba, ngga disangka ngga dinyana karena ngga dengan sigap mengindahkan saran Ibu itu...

”Vrrrooooooooooommmmm!!!!!”

Prok-prok-prok!!!! SELAMAAATTTT, kita disuguhin asap hitam pekat dari knalpot truk sampah yang baru aja nyampe buat nuangin sampah fresh from downtown dari pusat kota Medan.
Sowat dah, sial!!!! Belom sempat selamatin diri udah kena semprot aja... ck...!!!

Yawdah, biar obrolannya lebih enak, kami naik ke tumpukan sampah tempat pondok ibu itu didirikan... Hop!

”Siang Bu... hehe... Kami mau tanya-tanya, ngga apa apa ya Bu?”

”Iya dek..silahkan..”

”Uhm... Ibu namanya siapa?”

”Aku Bu Eni...”

”Ibu umurnya berapa?”

--nah, ini dia jawabnya aku lupa (maaf, data-data detil hasil wawancara ilang kena terjangan trojan di PC-ku, huuu.... )


”Udah berapa lama ibu kerja disini jadi pemulung?”

”ya kurang  lebih .... tahunan lah dek...”

”Uhm, kalo disini tuh jenis sampah apa aja yang masuk ya Bu?”

”Jenisnya? Yah, semua lah... sampah basah, sampah kering, sampah bangunan, semua lah pokoknya campur jadi satu disitu...”
(bayangin aja gimana orang asli Medan kalo ngomong, pasti kebayang gimana emphasis-nya, hehehe)

”Uhm.... kalo menurut Ibu, sampah apa yang paling susah diurus? Yang paling berat buat menguraikannya?”

”sampah yang paling susah?” (emang ada ya sampah yang senang? Buakakakaka... pertanyaannya ngga keren ah.. :p)

”Maksudnya... gimana ya, kalo dibilang sampah yang paling kotor... ya, yang namanya sampah pastilah kotor (nah, itu tau?) , tapi, sampah yang paling ngga ibu sukai itu sampah yang kayak apa gitu loh Bu...?”

”Oooh... kalo aku, aku paling susah kalo sudah masuklah sampah dari rumah sakit...”

”Sampah dari RS? Kenapa gitu, Bu?”

”Iya... coba kelen bayangkan ajalah, sampah-sampah bekas operasi pasien-pasien, bekas infus kadang jarumnya terikut, sering juga kami dapat sampah-sampah bekas darah yang menggumpal-gumpal gitu dibuang gitu aja, kalo itu betullah, jijik kali rasanya ah, tapi mau kekmana lagi, udah itunya kerja awak ’kan...”

(sesaat kami terdiam... Oh My... ini bener-bener jauh lebih berat dari apa yang kami bayangkan…)
”oh.. gitu ya Bu? Ck... berarti semua sampah dicampur aduk aja ya BU, ngga ada pembagiannya?”

”Ya ngga ada lah dek... mana lagi sempat ngurus pembagiannya itu, ratakan aja semua jadi satunya itu, sampah semua... hahaha..”

(Oh dear, sounds so desperate...)

AND THIS IS THE MOST FAVOURITE PART THAT WE HAD IN THIS INTERVIEW.

“Jadi, selama ibu jadi pemulung, gimana perasaan Ibu? Apa pernah merasa menyesal dengan kondisi Ibu sekarang?”

”Dengan dikelilingi sampah kayak gini, pasti banyak kuman banyak penyakit, apalagi tadi Ibu bilang ada sampah yang langsung dari rumah sakit, pasti banyak kumannya ’kan itu...”

”Ahaha... cemmana lah dibilang ya dek... Kalo menyesal, ngga pernah saya menyesal, saya kerjakan ajalah apa yang udah saya jalani ini... Biarpun Cuma dapat penghasilan cukup cukup makan, kadang pun ngga cukup buat sekolahin anak-anakku, tapi tetap aku syukuri yang ada ini.”

”Kalo soal penyakit, biar kelen tau dek ya, selama saya jadi pemulung disini belum pernahlah ceritanya saya diopname gara-gara sakit... Hehe, pasti bingung kelen ’kan?”

”Ah, masa’??? Yang bener Bu?”

”Iyalah... tau kenapa bisa kayak gitu?? Karena taunya Tuhan itu kalo aku mampunya Cuma kerjaan kayak gini, jadi pemulung, ngutip sampah, jadi karena itulah dikasih Tuhan saya kesehatan, kekuatan, biar ngga sakit-sakit saya... Itulah baiknya Tuhan itu kan?

”Dia tahu kali mana yang perlu dikasih kesehatan lebih, coba kelen bayangkan kalo ngga adalah orang-orang kayak kami yang mau jadi pemulung, kemana semua dibuang sampah kota Medan ini?? Ya menumpuklah di pusat kota sana... sakitlah orang-orang semua... hehe...”

(Kami : Terdiam... Membisu... Bahkan sambil menahan air mata...)



Ajaib Tuhan!!!!

Memang sungguh, Dia itu Maha Adil.

Aku berpikir... kami- anak-anak yang dari kecil sudah dirawat dengan begitu amat baiknya oleh kedua orang tua lengkap dengan asupan nutrisi dan gizi yang cukup- sudah sekitar 2 atau 3 kali menjalani opname di RS. Dan si Ibu Eni ini...dia yang setiap harinya bermandikan kuman dan bakteri masih bisa mengucap terima kasih dan syukur untuk apa yang Tuhan beri... KESEHATAN dan KEKUATAN LEBIH.

Alangkah indahnya jawaban-jawaban yang keluar dari mulut Ibu ini.
Sejenak menyadarkan kami untuk kembali pulang kepada kemurnian jiwa dan hati dan nurani.
Beranjak dari kekacauan dan kebisingan dan kemunafikan manusia masa-kini.

Oh God...

Selalu saja ada cara-Mu untuk mengajarkan kami, mengingatkan lagi bahwa ada sesuatu yang lebih penting daripada sekedar menjalani hidup dan kehidupan...
Dan bagaimana membuat kami sadar untuk senantiasa mengayak lautan pasir di hati kami untuk kembali menemukan serpihan-serpihan yang terhilang dan bagian-bagian yang terlupakan. Kata ”syukur” dan ”ikhlas”. Ajari kami lagi untuk memahami semua yang baik yang berasal dari kesucian dan kemurnian hati itu...

Kami telah mengembara.
Kami telah berkelana.
Kami telah berlibur.
Kami telah terhibur.
Kami telah berwisata....

Ke sebuah lautan sampah yang menyajikan pesona:
Seorang Ibu dengan sejuta ketulusan dan keikhlasan hatinya.

Mengais sampah demi sesuap nasi dan sejumput rejeki, untuk anaknya, untuk hidupnya, untuk dirinya....

Dengan selalu memanjatkan doa pada Tuhannya, tanpa mengeluh meski ia rapuh.
Dengan selalu bersyukur atas hidupnya, tanpa berkesah meski ia lelah.

Kami berlibur ke tempat yang paling jauh waktu itu : KEDALAM LUBUK HATI KAMI SENDIRI.


-fin-

INNP
Medan-090811-


4:06 AM



and here we go again....

ruining the day, day by day
without any exact explanation of what we're going through now...
can"t you see we're going blur these latest days??
I am so tired of being sick like this....
If this heart were a lung, I guessed I've died two months ago...
coz I'm running out of air to breathe...

Damn! I can't sleep (again) wake up too early with nothing to do...

***
Pengen berhenti sejenak,
Dengan susah payah untuk berjalan lagi
Buket bunga sudah terlihat seperti sejumput rumput liar
Puisi sudah terdengar seperti elegi
Entah apa lagi yang tersisa...
Aku ingin yang baru itu muncul dan menyelamatkanku.
Tapi tak semudah yang dibayangkan,
agaknya aku sudah terlalu capek dengan semua keadaan

Tak ada lagi detak yang istimewa
Hanya sama seperti hari-hari sebelumnya
Degupan dan debaran menjadi serupa
tak ada yang istimewa disana....

Sekarang semua terserah kepada takdir...
aku tak lagi ingin bicara apa-apa
didalam bingungku aku bertanya
dan didalam bingungku juga aku tertawa
dengan hati dan jiwa menangis miris diantaranya.

Hari ini, aku merasa lelah sekali.
04:10 WIB-Medan

-Perenungan singkat di hari Sabat-



Kataku aku akan ‘pulang’, tapi entah kenapa rasa-rasanya raga ini saja yang sepertinya sedang melayang-layang, menerawang jauh sampai tak terlihat di awang-awang…
Mengangkasa, mencari dan mencari tapi tak pernah menemui…

Soal hari kemarin: aku tak lagi peduli, atau sebut sajalah aku (berusaha dan memaksa) untuk tak lagi peduli,
Meski mereka bilang masa lalu adalah sesuatu yang tak pernah selesai berurusan dengan kita yang di masa kini, sama halnya jika menyoal masa depan.

Tapi sekali lagi, inginku agar kau tak selalu mengabaikan apa yang kau anggap sudah ‘dibelakangmu’,
Mungkin aku atau mereka adalah masa lalumu, tapi jangan buang itu!
Jangan campakkan begitu! bisa jadi apa yang kau sebut masa lalu akan menunggu di gapura halaman rumahmu sebagai sosok yang telah lama kau kenal dan mungkin saja, ya, waktunya sudah tiba… kau sambut ia sebagai masa depanmu!

***

-tentang sesuatu yang masih belum bisa kudeskripsikan-

Bisakah aku menyebut diriku sedang kecewa?
Tapi soal apa aku harus kecewa? Tak ada yang menyulutnya…

Kecewa terhadap rekayasa yang terlihat sebagai sesuatu yang ‘bukan rekayasa’, tapi malah lebih kepada sesuatu yang ‘nyata’ dan bukan 'kebetulan' belaka?
Aku harus kecewa?
Aku harus menyesal?
Aku harus marah?
Sungguh, sama sekali tak ada benang merah ke arah itu...

Kusebut ini sebagai sesuatu yang ‘tidak normal’, ‘tidak jelas’ atau ‘tidak berbentuk’?
Rasa nyeri yang tidak berasa…
Hanya dibahasakan sebagai kesakitan yang tidak menyakitkan…
Sekarat? Oh, ini tidak sampai begitu jauhnya, sepertinya…

Tapi agaknya aku mencoba menggunakan penanda bahasa yang lain untuk mengkonversikan keganjilan ini…
Sesuatu yang… ‘tidak biasa’?
Samakah itu dengan kata ‘abnormal’, ‘ganjil’, ‘aneh’, ‘unik’, ‘berbeda’ dan sebagainya?
Samakah??

Kalau kau sudah punya jawabannya, segeralah beritahu aku…
Sebab aku tak mau terlalu lama lagi menunggu sebuah kamus atau seorang ahli bahasa yang sanggup memberikan makna verbal dan non verbal soal ini untuk waktu yang terlalu lama.

Tapi aku ingin mengujinya… aku merasa sedikit tertantang untuk doktrin seseorang yang menganggap dirinya dewa yang punya daya sakti untuk menyembuhkan itu…

“Benarkah? Apa mungkin demikian?” Pikirku…

Apa dia Tuhan? Bukan… dia jauh dari wujud Maha Sempurna itu.. masih terlihat noda dan codet disana-sini di setiap lekuk tubuh dan tutur katanya.

Lalu… apa dia peramal? Uh..bukan juga, rasaku.
Dia terlalu cemerlang untuk diibaratkan seperti seorang cenayang murung yang bergelayut dalam gelap malam dan temaram.

Jadi… siapakah dia yang sudah dengan ringannya menuliskan rahasia mantera yang akan menghancurkan ‘kutukan’ yang ada pada diri seseorang saat itu?

Dia bukan siapa-siapa! Dia hanya manusia, makhluk antara: ada diantara keyakinan dan keragu-raguannya, bahkan disaat yang bersamaan!
Jadi untuk apa aku percaya?
Bahasa memang untuk dibahasakan dengan perantara kata-kata…
Sanggup membangun sekaligus menghancurkan yang mendengarnya.

Tapi bahasa yang seperti sihir magis itu tak akan aku akui sebagai ‘penghancur kutukan’, karena memang dia bukan siapa-siapa dan tidak akan menjadi siapa-siapa.

Aku tak ingin melemah dan mengalah…
Ingin kutantang apa yang dia sebut sebagai kutukan… tidak!
Kalaupun aku harus menahankan semuanya, rasa pahit dan manis sekaligus, akan kulakukan.
Sudah tak ada bedanya, toh aku akan berjalan menuju keberhinggaan hidupku, kenapa mesti memberang?

Iya…
Aku akan…


29.05.11

(mungkin) tukang donat membenci saya...??



kejadian ini sebenarnya udah sering sih, cuma baru sekarang kepikiran buat nulis disini...

kita pasti pernah beli donat di toko2 donat, yah sebut ajalah namanya J-C* ato D*nkin' Donuts gitu yah... pernah ngga ngerasa kesian (kadang2 sih) ama penjualnya gitu? 
Mukanya udah kecapean, tapi selalu berusaha untuk senyum buat ngeladenin pelanggannya...
Kerjaan itu ngga mudah kayak yg kita liat, gimana coba caranya nahan emosi pas lagi kerja sambil tetap berusaha senyum padahal dalam hati (barangkali) ada aja hal2 yg ga enak yg lagi dialamin...


Apalagi ceritanya kalo ngadepin pelanggan yg ribet bin heppot, whuaaa, bakal diuji tuh kesabaran pramusaji2 nya..


Nah... sebenarnya tujuan akhir dari pramusaji itu kan gimana caranya menjual dagangannya biar cepat habis, laris manis gitu kan ya...
itu emang pedagangwi sekali hehe... tapi yah, ini menurutku sih...
Berapa kali aku beli donat di gerai2 penjual donat bermerek kayak yg aku sebut tadi, berapa kali juga mereka suka ngotot buat nyuruh beli per 1/2 ato 1 lusinan...

-berikut cuplikan percakapan yg masih terekam ingatan:
 
Donut Seller : "Selamat siang, mbak.. Silakan.. mau yg rasa apa???"

Saya : "Uhm.... yang tiramisunya masih ada ngga mas??"

Donut Seller : " Tiramisu...?  ada mbak..."

Saya : "Ya, tiramisunya 1 yah mas."

Donut Seller : "Cukup satu, mbak? Ambil setengah lusin ato satu lusin aja mbak... Mbak bisa hemat 5ribu perak, ketimbang beli per satuan gitu..."

Saya : "ahaha.. ngga mas, perlunya satu doank kok.."

Donut Seller : "Tapi mbak rugi loh kalo beli per biji gini.. Lagian kan bisa pilih macam2 rasa gitu," (sambil nyiapin kotak 1/2 lusinan)

Saya : "Ngga mas, satu aja deh..." (mulai ngernyitin dahi, agak kesel udahan)

Donut Seller : "Sayang loh mbak, lebih hemat 5ribu..." (ngototnya masih juga...)

Saya : "Ngga mas, makasih, saya perlunya cuma satu, buat dimakan sendirian kooook... Kalo saya beli 1/2 ato selusin, mau dikemanain sisanya? saya ngga habis sndirian segitu banyaknyaa...!!" (dengan nada kesel, dan sepertinya sinyal kemarahan sudah sampai dengan selamat di kepala penjual donat... *syukurlah)

Donut Seller : "Oh, iya mbak." (sambil ngambil kertas bungkus per satuan, masukin di kresek, trus pencet2 mesin kasir...)
"Silakan mbak... 6.500 rupiah..."

dan bla bla bla.....

FYUUUUUUUUUUHHHH....!!!

bener-bener menguji kesabaran kaaaan???

Baik si penjual donat pun aku sendiri emang bener2 diuji kesabarannya...
satu sisi ngerasa ngga enak, kesian ama penjual donat itu, tapi si sisi lain, masak aku harus ngorbanin perasaan, ngorbanin duit lebih dan ngorbanin berat badan yg gagal diet junkfood gituuu????
Ah, tetep kekeuh ama pendirian ajalah, hehehehe...


well... just it, sekedar berbagi2...
terserah, kamu ada di pihak siapa, yg penting SAVE YOUR DONUTS!!!!

*ga nyambung, sumpah... (=_=)a

Sendiri itu....???




(Bukankah) kita harus terbiasa dan membiasakan diri dengan “kesendirian”???

*Semuanya ini asalnya di pikiranku…

Sembilan bulan didalam rahim ibu, kita sendirian…

Mengalami proses bertumbuh dan berkembang dari hari ke hari, semuanya karena bantuan ibu dan Tuhan…

Seandainya, berduapun (sebagai anak kembar) kecuali dengan sebuah alasan tak jelas dari perkalian biologis, maka jantung kita juga akan berdenyut sendirian, tanpa bantuan jantung si kembaran itu…

Lahir...
Sendirian.. meskipun memang dengan bantuan tangan-tangan
Bidan, perawat, suster, dokter dan sebagai-bagainya,
Tapi karena kita bertahan dan kita kuat, kita sanggup memecah tangis ke udara…
Lepas, bebas…
Dan saat itu mungkin terjemahan dari tangis itu adalah :
”Aku lahir… Aku hidup… aku bebas..  Terima kasih Ibu!”

(dengan catatan: si anak yg baru saja lahir memang sudah siap bahwa ia akan menempuh perjalanan yg jauh lebih berat dari apa yg dia dapat dalam rahim ibunya: kemanjaan)

Tak ada lagi kata bermanja… setelah lepas usia anak-anak, apa yg kita dapat adalah,

“Manusia tidak akan menolerir apapun kesalahan kita kecuali karena dua hal: Kita masih usia balita atau kita (dianggap) sudah tidak waras alias gila!!!

# Suicide-look like#



Sekali aku sudah terlahir…
Aku tak bisa kembali ke rahim ibuku lagi.
Begitu… ya, memang begitu.

Sekali aku sudah dewasa…
Aku tak bisa kembali ke masa kecilku lagi.
Dewasa, sebuah gerbang yang dari dulu tak ingin kubuka gemboknya
Aku memang memiliki kuncinya, tapi entah apa yang membuat, egh,
Rasanya tak ingin membuka kunci gembok gerbang yang satu ini…

Hidup memang kabur, blur…
Itu benar, memang…

Tapi untuk jalan dibalik gerbang ini, kelihatan lebih mengerikan
Kabutnya terlalu tebal… asap dimana-mana
Semak belukar agaknya sudah merambat ke setiap sudut jalanan…
Ngeri aku melihat dan membayangkannya,
Apalagi menjalaninya..

***

Sekali aku lahir, aku lahir…
Sekali aku lahir, aku hidup…
Aku syukuri (?) memang….

Tapi sering bertanya, benarkah aku punya kekuatan terselubung,
Ehm, ibarat mantera yang bisa kuucapkan kapan saja dimana saja
Untuk dapat bertahan di hamparan yang seperti sehelai daun ini?

Keluhku, Tanyaku, Risauku padamu, "Nona"



Kepada 
seseorang yang kusebut sebagai “Nona”


Dengan hormat,
Pembuka surat ini seperti hendak memulai suatu pembicaraan yang terkesan formal, bukan?
Tapi tidak demikian…

Kamuflase…
Hehe, aku bohong, “Nona”….
Maaf, kalau selama ini aku menjejak dirongga hatimu yang terdalam
Jalan setapakmu begitu kering, mungkin karena itu kau tak melihat aku meninggalkan jejak disana.

“Nona”, mengapa tak kau sirami taman hatimu dengan sedikit air?
Bukankah tanah akan menjadi lebih subur jika kau beri sedikit air?

“Nona”, mengapa tak kau coba memanggil seorang pengurus kebun untuk memperhatikan bunga-bungamu yang hampir layu?
Bukankah akan lebih baik jika ada dia yang merawatnya, rasaku kau seperti tak punya waktu hanya untuk sekedar menyirami dan memupuki bunga-bunga ditaman hatimu?

”Nona”, mengapa tak kau bukakan jendela lebar-lebar untuk membiarkan udara bebas masuk, sekaligus, biarkan bias-bias matahari masuk kedalam ruanganmu yang, egh, (maaf, seperti penjara bawah tanah) terasa agak dingin dan lembab itu?

”Nona”, mengapa kau menutupi wajahmu dengan berpayung langit mendung?
Katamu kau suka biru, tapi mendung sama sekali bukan biru, “Nona”…
Mengapa??

-07.04.11 hingga tak terhingga : infinite-



Sebuah kehilangan: saat ini ingin menjauh
Diatas bukit, tepian danau, bahkan laut sekalipun...

sepi, padamu kucari inspirasi
sunyi, padamu kutapaki imaji
tapi sayangnya, tak kutemui...


Ah, kota sekecil inipun ada kalanya terdengar berisik sekali!!!
kadang aku jadi benci....

Gawat... tampaknya hilang arah
Aku butuh bicara, tapi (mungkin) bukan saat ini

***
Sebuah SHOCK: pukulan telak, aku Knocked Out...

Apa butuh perjuangan?
pagi ini aku mulai meragu
manusia itu makhluk antara
hidup hanya diperbatasan...

batas antara ada dan tiada
iblis atau malaikat
hitam atau putih
hidup atau mati...
hanya sebatas kemarin, hari ini dan nanti...

Sialnya, aku tak merasa menang atau kalah...
aku tak merasa apa-apa.
Haha..ini yang terbaik mungkin...

Mungkin...
Mungkin...

#witing tresno jalaran soko kulino vs love at the first sight#



"weting tresno jalaran soko kulino"  vs  "love at the first sight"

seperti membandingkan konsep tradisional dengan konsep modern tentang pandangan manusia pada "Proses Jatuh Cinta"

masing-masing kita pasti memiliki konsep yg berbeda tentang mengapa, kapan, dan bagaimana kita jatuh cinta...
sebagian besar memang menjawab "tak dapat diceritakan, itu terjadi begitu saja"
Yah..memang ada benarnya, itu (seperti) terjadi begitu saja.
Tanpa basa basi "Tarrraaaa!", waow, kita ternyata sedang jatuh cinta...

Tapi, kali ini yg ingin dibicarakan bukanlah soal mengapa dan siapa...tapi lebih kepada "bagaimana"...

Anggap saja kita memandang dari tengah, dari posisi yg netral dan objektif memandang bagaimana cinta itu bisa datang kepada kita...

Well, meski, secara pribadi, agaknya aku tergolong penganut pepatah kuno Jawa yg berkata bahwa "Cinta itu datang karena terbiasa" ("weting tresno jalaran soko kulino")
apa sebabnya?

***

Oke... akan kucoba mengangkat beberapa alasan yg mungkin cukup rasional bagi kita tentang ketertarikanku pada pepatah kuno itu...

Secara filosofis, cinta dapat terjadi dan tercipta jika memenuhi empat syarat utama, yaitu:

~Knowledge : pengenalan, pemahaman dan penerimaan terhadap sesuatu atau seseorang degan tulus dan apa adanya
~Responsibility : tanggung jawab terhadap apa atau siapa yang dicintai (dalam hal ini sebaiknya porsi tanggung jawab -kecintaan pada seseorang- dimiliki oleh masing2 pihak dengan jumlah yg seimbang)

~Care : rasa kasih sayang, perhatian, perlindungan dan pengasuhan terhadap apa atau siapa yang dicintai
~Respect: penghormatan terhadap apa atau siapa yg dicintai
(band. Erich Fromm dalam the art of loving)


...


Nah, dari keempat syarat tersebut, agaknya syarat pertama yg akan disoroti lebih dalam disini...


berangkat dari sebuah pertanyaan yg sering bergaung dikepalaku..
"Bagaimana mungkin kamu mencintai orang yg belum kamu kenal?"


Aku rasa, kita memiliki kemampuan untuk menjabarkan pertanyaan ini seluas yg kita mau...

Langkah pertama (menurutku) yang harus dilakukan dalam rangka untuk mencintai seseorang adalah dengan mengenalinya terlebih dahulu...
Ya, pertama-tama, cukup kenal saja dulu.
dan menurutku, pengenalan ibarat "buku panduan" kita untuk melangkah ke tahap selanjutnya... dan disini kita bisa mengadakan penyesuaian penyesuaian yg kita perlukan, bahkan kita bisa lakukan semacam kontemplasi tentang perasaan kita.


....

Ini sepertinya salah satu alasan kenapa anak muda sekarang mengenal istilah "PDKT", kan?
Pendekatan... pendekatan, dalam rangka?
ya tentu saja dalam rangka menutupi dan menjawab pertanyaan pertanyaan dan rasa ingin tahu kita tentang seseorang yg menjadi "target" kita...


biru abu-abu: #Barikade Tak Kasatmata#



biru abu-abu: #Barikade Tak Kasatmata#: "Sama sperti hari-hari sebelumnya... tanpa sadar, ia sedang dalam sebuah peperangan Pihak oposisi tampaknya lebih dominan Sekali lagi kukatak..."

#inginku, menjadi korban pencerahan#



debu-debu yang berdebu...
jika mungkin bagimu
jadikanlah lagi aku satu
satu dan menyatu
dengan pemilikku

kesah-kesah yang gelisah
biarkan asa sejenak mendesah
karena ia merasa gundah
tak melihat ada tempat berkesah

keluh-keluh yang berpeluh
jadikanlah lagi aku utuh
dia yang semestinya berdiri tangguh
dan tak boleh lagi jatuh

biru biru yang menjadi abu abu
kemana kini langkahmu aku tak tahu
bias cahayamu pendarkan semu
tak tahu, kemana langkahmu

ia berseru, ia membelalak
ia meronta, ia menyerak
ia mengais, ia merangkak

ditumpukan sampah hatinya!

"buang semua itu!"

harus dikemanakan?
hendak kau apakan?
sayang, hati kali ini tak bisa ditata ulang...
jika begini, sebaiknya kau pulang
undur dari pencarianmu tentang terang
lalu kembali bungkam dalam bayang-bayang

***
Oh, barikadeku dulu...
apa kabarmu kini?

apa kau masih mengenali,
diriku yang seperti ini?

innp.12-03-11


Barikade Tak Kasat Mata



Sama sperti hari-hari sebelumnya...
tanpa sadar, ia sedang dalam sebuah peperangan
Pihak oposisi tampaknya lebih dominan
Sekali lagi kukatakan, itu diluar sadarnya.

Perlahan tapi pasti, dan tanpa basa basi
di kegelapan disuatu medan perang yang seperti pertunjukan
sebuah tembok yang kokoh sedang ia bangun
sebuah perlindungan yang tangguh sedang ia dirikan
hanya untuk satu tujuan "Bertahan"

***

Sadarkah kau soal itu?
Barikade tak kasatmata yang kau cipta
Sulit sekali bagi dunia untuk menembusnya
Kau buat itu dari apa?
Tembaga, besi atau baja?
Rasanya bukan juga....

Karena sepintas tampak ringkih, rapuh dan tak berjaga
tapi, lebih dari yang aku duga....
Ia selalu siaga!

***

Sungguh, sedikitpun tak ada maksudnya
untuk dengan sengaja berkonfrontasi
atau bahkan berkoalisi
dengan sayap kanan atau kiri

Yang ia tahu hanya,
ia sedang berjuang mempertahankan hirarki
bagaimana ia ada kemarin, sekarang dan nanti
dan bagaimana ia bisa berasimilasi
dengan dunia-dunia yang tak ia kenali

Kadang merenggang sampai menganga terbuka
Kadang tertutup sampai sempit merapat
Itu... Barikade tak kasatmata yang kau cipta!

160211