Partner untuk seorang partner





Belakangan ini, aku sering bermimpi.
Mimpi yang mengacau, entah ke mana arah tujuannya.
Aku tak merasa pernah merekam ingatan atau menangkap fenomena macam itu dalam realita
Tetapi dalam mimpi, ternyata semuanya bisa terjadi,
Ya, semuanya… bisa terjadi…

Mimpi…
Mimpiku (baca: impian) sederhana,
Atau lebih tepatnya : kelihatan sederhana

Partnerku…
Mari kita berburu…

Hidup ini terlalu singkat, tapi bisa menjadi demikian berwarna
Jika kita bisa gunakan waktu yang singkat sebaik-baiknya, sesungguh-sungguhnya..

Mari kita berburu…
Berburu banyak pemandangan yang bisa terekam dalam ingatan,
Sampai kau tua, sampai aku tua, sampai kita tak sanggup mengingat apa-apa lagi, sampai kita mati
Sisakan ruang bagiku dalam ingatanmu, ya.

Mari kita berburu,
Aku ingin mengabadikan burung-burung gereja di atap rumahku, di tali jemuranku, di pohon belakang rumahku, bersamamu, dalam satu dua lembaran klise atau digital itu.
Kita tunggu berjam-jam sampai kita temu fokus terbaik yang bisa menunjukkan padamu mengapa aku demikian menyukai burung gereja, partnerku…
Ya, burung gereja itu berwajah sendu… representasi kesepianku, dulu.

Mari kita berburu,
Aku ingin memotret gunung-gunung sampah bersamamu, di tempat itu, tempat paling kotor di kotaku,
Kita abadikan wajah-wajah sayu, wajah seorang dua orang ibu dengan sejuta asa yang tertumpuk rapi di antara bau busuk dan pesing dan amis dan menyengat itu.

Aku ingin mendaki gunung  bersamamu, jika bisa, kita di Mahameru, tempat yang aku ingin kunjungi suatu saat nanti
Tempat dimana bunga abadi-edelweiss- dengan anggunnya bersemi, seperti sedang kedinginan tetapi mereka justru sedang saling menghangatkan.  
Begitu rapatnya kuntum demi kuntum, seolah saling berbicara :”Mari kita menghangatkan diri! Merapat, merapat, biar hangat!” begitu barangkali?
Aku ingin memotret dengan mataku, tidak dengan lensa itu, partnerku…

Aku ingin menuangkan secangkir kopi dengan krimmer buatmu, tidak dengan gula tebu, tak terlalu manis, karena kau benci dengan rasa yang terlalu berlebihan, rasa manis kau tak terlalu suka, katamu.
Tidak mengapa, kuaduk dengan setengah sendok gula saja… reguk perlahan pahitnya kopi itu, semoga lembutnya krimmer bisa menyisakan sedikit rasa manis pada lidahmu.

Aku ingin membaca buku kesukaanku bersamamu, partnerku
Katamu kau tak suka membaca, biar aku baca saja, lalu kuceritakan semuanya langsung ke telingamu.
Tak mengapa.

Aku ingin bersepeda bersamamu.
Mengayuh pedal sepeda sampai semaput, sampai kalut, berlelah-lelah dan berpeluh.
Jangan lupa, bawa handuk itu serta. Ingat, aku ini orang yang detail, partnerku.

Aku ingin bermain badminton bersamamu.
Mengibas-ngibaskan raket dan menembus net, dengan sabetan-sabetan smash dengan tenaga yang tak seberapa.
Jangan lupa, bawa botol minum itu serta. Ingat, aku ini orangnya mudah berkeringat partnerku. 

Oh iya, aku juga ingin memotret langit biru, partnerku.
Kau tahu kalau aku suka biru. 
Laut, langit, biru. Sertakan juga dandelion dalam sebuah bingkai bersama birunya langit itu, partnerku.

Aku ingin kita berjemur, berjalan, berlari, menaiki bus, turun, berjalan dan berlari lagi, semuanya semuanya semuanya kita lakukan di bawah teriknya matahari.
Aku tak takut kulitku legam, partnerku. Aku ini mencintai matahari, bukan karena ada “Ra” pada “Ira”, namaku, tetapi karena aku harus, mencintai matahari sebagai salah satu sumber daya dalam hidup ini.
Jangan lupa, bawa juga obat-obatan itu serta, kau ingat ‘kan aku punya alergi? 

Itu mimpiku…
Akan kusisakan ruang untuk mimpimu, di sini partnerku. Di dalam kepalaku.
Sampai nanti, dalam mimpi, dalam dunia masa depan yang kita tak akan pernah ketahui kapan dan dimana lagi kita akan bertemu dan hidup dan menghidupi segala yang perlu dihidupi dalam hidup dan kehidupan ini.

.fin.

Voila! And all of sudden, we become so religious!





Voila! And all of sudden, we become so religious!

Hm, yah…
Ini cerita hanya seadanya saja
Boleh bilang saya gila atau apa,
Tapi ini cerita saya, seadanya, sebenar-benarnya.
Saya ini seorang yang diam yang hanya berani mengamati dan mengomentari realita-realita tertentu
Dari balik kacamata minus saya yang tak terlalu tebal ini.
Ya, saya diam dan mengamati sebagai seorang “Ra”.
Bukan dewa atau apa, hanya seorang “Ra”. Manusia biasa.
Well…
Kadang saya bingung melihat pola-pola yang diciptakan manusia
Tertata rapi, tetapi tetap saja kesannya berantakan
Entah ya, begitu pandangan saya
Saya,
ya, saya akui, bukanlah seorang yang demikian fanatik terhadap keberagamaan saya
saya suka keberagamaan saya, dan saya hidup dalam keberagaman.
Saya beragama, namun yang terpenting  bagi saya adalah keber-Tuhan-an saya.

Tetapi, entah kenapa, dan entah berdasarkan standar apa,
Rasa-rasanya saya bukanlah “seorang yang taat”
Yah, segala yang sekuler dan benar-benar duniawi mungkin melekat pada diri saya
Tetapi saya masih punya keyakinan terhadap Satu-yang lebih krusial dan esensial -: TUHAN

Pandangan “merendahkan” dan omong kosong yang “meninggikan” seringkali menjadi kudapan
Kudapan di hari petang, pagi atau malam
Kudapan yang saya comot tiap kali saya mulai merasa muak dengan segala fanatisme yang dihambur-hamburkan ke udara
Atau langsung dibisikkan ke telinga-telinga

Mereka –yang katanya religius itu- bilang saya ini antipati, apatis, sinis, sentimen, dan bla bla blah!
Hm… antipati, sentimen, apatis; mungkin ya, tapi tidak dengan sinis.
Saya tak pernah ada niat untuk menjelekkan sesuatu yang “visual”nya memang sudah sangat bagus dan rapih, bersih, suci, kudus, dan sebagai-bagainya itu.
Saya cenderung meragukannya. Hahaha,  maaf. (Ups!)

Well, yah…
Seperti kata orang tua saya; “yang banyak tahu itu biasanya malah banyak lupanya”

Ya, tahu tentang perintah Tuhannya, tetapi juga banyak lupanya.
Tahu tentang kehendak Tuhannya, tetapi juga banyak khilafnya.
Saya tidak benar, demikian juga kamu.
Saya salah, demikian juga kamu.
Setahu saya, keselamatan itu anugerah, dan pengampunan itu juga karunia.
Kita terpilih dan dipilih, bukan memilih.


Sudah terlalu banyak penghakiman-penghakiman dadakan yang manusia ciptakan

Kekhilafan dan kesalahan dengan serta merta membuat “kepongahan rohani” kita membuncah
Seolah kita semua tak punya catatan hitam
Seolah kita semua tak pernah melalui jalan kelam
Cih!

Boleh mereka bilang ini semua rangkuman dari sebuah pembenaran.
Tetapi nyatanya bukan demikian, saya tidak sedang membenar-salahkan apapun dan siapapun.
Saya hanya berkomentar. Tentang apa yang normal dan wajar.
Itu saja.

Saya menyaluti ingatan mereka tentang segala jenis ayat dan pasal-pasal dalam sebuah Kitab Suci
Bahkan ada yang dengan bijaksananya merapalkan kata per kata ibarat mantera
Sungguh, luar biasa!
Saya jauh dari itu.
Saya tak banyak hafal,

Dan saya tak banyak menggarisbawahi-mewarnai-membatasi-mencatat-mengutip satu per satu ayat yang saya rasa mengena dalam hati

Saya tak menganggapnya sebagai anestesi
Bius dikala kita merasa sakit dan ringkih dan lemah dan atau apalah namanya!
Tetapi, saya berkontemplasi
Belajar satu hal dari Tuhan saya yang petunjuk-Nya dirangkum dalam Kitab Suci agama yang saya yakini: KASIH

Atas nama selebrasi dan seremoni dalam sebuah religi
Terkadang kita terlalu mengedepankan visualisasi, tetapi kerap mengabaikan implementasi dan aplikasi
Sesuatu yang riil, bukan hanya sekedar abstraksi dari sejumput substansi
Mereka yang mengklaim dirinya “religius yang rohani sekali”
Dengan mudahnya menjadi tamak dan rakus ketika berurusan dengan materi
Padahal jelas dikatakan, 
Oke, dengan segala keterbatasan, saya mencoba mengutip surat  Ibrani 13 pada ayat ke-5 :
Dikatakan bahwa “janganlah kamu menjadi hamba uang…
Lalu, mengapa kita demikian getolnya mengejar materi dan harta dan mengejar kaya? Jaminan bahagia di hari tua? Untuk memenuhi segala bea - biaya?
Benar(kah?)

Lagi, perkara yang satu ini memang sedikit menampar saya.
Ingatkah kita ketika Isa lahir ke dunia?
Hei, Dia lahir bukan di hotel berbintang lima,
Bukan di rumah sakit ternama,
Bukan pula di sebuah rumah yang luasnya bak istana.
DIA itu lahirnya di kandang domba! Iya, KANDANG DOMBA!
Tempat yang terlalu hina untuk menampung kelahiran Raja Semesta.

Lalu, ada apa dengan kita?

Selepas ibadah di gereja, kita yang tadinya bersikap (sok) religius dengan duduk manis mendengarkan ceramah dan khotbah
Yang tadinya bersikap (sok) suci dan kudus untuk tidak memproduksi dosa dengan mengekang mulut dan lidah
Mendadak menjadi gila karena benda-benda dunia!
Sikap hedonisme yang meluap-luap itu tiba-tiba menghampiri
Umpama seorang yang sedang berahi
Kita berkontraksi dan melepas-liarkan energi pada materi
Dengan serta merta kita menjadi binatang-binatang yang haus akan Prada, Channel, Hermes, dan Gucci
Membuang-buang uang, waktu, tenaga dan energi
Hanya untuk kepuasan diri sendiri

Kepuasan batin yang dipuaskan karena sebuah alasan –yang bagi saya klise sekali- : menghilangkan jenuh dan tekanan
Saya justru lebih merasa tertekan ketika melihat price-tag yang lengket di benda-benda mahal itu
Wuih…

Untuk bagian ini, mungkin saya akan dikritisi, “Uang itu uang saya, saya mau beli apa ya terserah saya, kenapa Anda yang sewot?”
Kalau sudah menuai jawaban seperti ini, saya hanya menaruh rasa empati dan iba: “Kasihan Anda ini, bahagialah ketika ada Prada dan Gucci di lemari, setelah semuanya terpenuhi, maka Anda kembali lagi pada lingkaran setan yang tak pernah berhenti. Kebahagiaan yang murah, bisa diukur dari total tagihan billing yang dikirim ke rumah setiap bulan.”

Mengapa?
Ya, seperti yang kita tahu… Perancang-perancang di Eropa sana kan tak pernah berhenti berkreasi dan berinovasi.
Musim berganti, model, bentuk, dan warna berganti. Tetapi tidak dengan fungsi.
Fungsi, ya toh akan tetap sama. Apa sih  fungsi utama dari tas, baju dan sepatu?

Barangkali saya akan berpikir dan bergiat menabung untuk membeli, jika suatu hari nanti ada tas yang di dalamnya bisa menyimpan rumah, yang memudahkan akomodasi saya ketika berpergian ke luar kota.
Siapa tahu… :p

Untuk hedonisme ini, saya hanya teringat pesan Isa dalam Doa yang diajarkan-Nya, Doa Bapa Kami.
Saya mengutip sepenggal kalimat di dalamnya: 

“…berikanlah kami pada hari ini, makanan kami yang SECUKUPNYA…”

Secukupnya lho, s-e-c-u-k-u-p-n-y-a.
Bukan “selebihnya”, “berlebihan”, “sebanyak-banyaknya”, “semahal-mahalnya”.
Saya selalu merasa tersentuh dengan kata “secukupnya” ini.

Ya, pemahaman saya, yang Ia mau agar kita itu jadi orang-orang yang “tercukupi”, “dicukupi”. Bukan pula “cukup-cukupan” alias “pas-pasan”.
Cukup itu… tidak lebih dan tidak kurang. Balance, gitu.

Ya, ini hanya pandangan pribadi dari seorang anak manusia yang katanya tidak religius dan tidak gerejawi ini.
Dari segala isi Kitab Suci, saya paling ingat kata ini : KASIH.

Ya, “kasih” itu bisa meliputi segala kebaikan dan sifatnya yang esensial sekali.
Barangkali kita sudah lupa bagian terpenting ini.

Ketika hanya karena harta kita harus membenci dan memerangi saudara kita, apa iya kita masih punya KASIH?

Ketika hanya karena ingin memuaskan nafsu hedonis kita, kita harus menghamburkan uang dan tenaga untuk hal yang tidak primer, sementara di luaran sana ada banyak anak-anak yang sekolah tanpa kasut, bersekolah dengan plastik kresek yang membalut buku-buku butut, anak-anak yang tidur di bawah kolong langit tanpa atap rumah dan tanpa selimut. Apa iya kita masih punya KASIH?

Ketika hanya karena fanatisme yang berlebihan terhadap religi, kita harus mengorbankan harga diri orang lain dengan memberikan penghakiman-penghakiman yang egoistis dan menelanjangi dirinya tanpa ampun, dan mengatasnamakan sebuah justifikasi yang terkesan basi. Apa iya kita masih punya KASIH?
Apa iya?

Saya introspeksi diri saya, demikian juga Anda.
Semoga kita bisa menghidupkan dan menghidupi lagi “kasih” yang sebenar-benarnya.
Kecintaan terhadap religi itu perlu, tetapi lebih perlu lagi kecintaan terhadap TUHAN, sumber dari segala kehidupan.
Fanatisme itu tak perlu dipaksakan, fanatisme itu bisa disimpan di sini, dalam hati.
Bersaksilah pada diri sendiri bahwa kita akan menjadi manusia-manusia sejati yang tak berniat untuk ber(r)evolusi menjadi binatang yang tadinya bersimpati, mendadak lalu berang dan saling menyerang.
Berjanjilah pada diri sendiri, dengan apa yang Tuhan berikan, kita menjadi manusia-manusia yang mulia, dan mempermuliakan Dia, hanya Dia –Alpha dan Omega- sampai nanti, sampai mati.

Jatinangor, November 19th , 2012.
12:40 AM ; dalam keadaan mabuk kafein dan sekian potong martabak yang mulai dingin.

basi!





Sembilan lima belas, waktu Indonesia bagian barat.

Malam tadi aku banyak bermimpi

Bermimpi tentang mimpi yang dimimpikan oleh seorang pemimpi kelas teri; aku

Sekilas telingaku berdengung karena tanya demi tanya yang masih belum terjawab sampai kini, detik ini
Mencoba membobol gendang telinga, menggedor berkali-kali dan tanpa henti
Menuntut seseorang atau sesuatu dari hati untuk segera menjawab dan menyahuti
Meski aku sendiri tak tahu pasti, kapan semua mimpi bisa jadi nyata, 
senyata rasa nyeri yang kadang masih menggegerogoti kepala yang sebundar ini

Apa yang dilakukan seseorang di belakang layar?
Banyak.
Menenggak kafein bersama sebatang nikotin
Atau kafein yang dikawini oleh dopamine,
Hanya bila ingin segera bertemu pendahulunya di sana: surga atau neraka

Kontemplasi malam tadi berbuah sesuatu, tampaknya
Menyanjung-pujikan keikhlasan hati dalam berbuat dan melakukan
Tanpa iming-iming ini atau itu

Namun ketika kita menjejak kaki di ambang batas, masihkah kita menjadi “manusia”?
Hati ingin memberi, tetapi dunia menolak.
Kaki ingin melangkah, tetapi jalanan telah memagari dirinya dengan kawat-kawat berduri
Tangan ingin menolong, tetapi manusia telah lebih dulu membiarkan dirinya tenggelam dalam keotomatisan dunia yang katanya serba instan ini
Telinga ingin mendengar, tetapi ternyata mulut-mulut yang terkatup telah terlalu lelah berbicara lewat urat-urat halus berwarna warni
Hanya menyisakan kesenyapan yang memuakkan
Menihilkan siluet diri
Bahkan bayangan pun tak lagi diakui
Dan pengakuan untuk sebuah eksistensi hanyalah tingaal segenggam basa basi
Yang memang benar-benar basi.
Basi!




Ceritaku (bukan) sejarahku



Tentang biru, tentang abu-abu
Suatu kali, pernah kutantang diriku
Untuk membuka mata lebar-lebar, selebar fantasiku
Menatap hingar bingar dunia
Bergerilya, antara fakta dan realita, dalam satu sisi waktu
Yang sialnya tidak pernah terhenti dan membatu

Dadaku sesak
Bukan karena tertimpa, tertindih atau apa
Nafasku tertahan
Ingin muntah, muntah, dan muntah
Aku berkaca, mataku nanar
Dan yang kulihat di pantulan bola mataku hanyalah bayangan yang bukan diriku
Lalu?

Aku membisu

Terkadang kegilaan dan kewarasan sulit untuk dibedakan
Kapan kau akan disebut gila?
Kapan kau akan disebut waras?
Tak ada batasan
Bagi orang sinting kau mungkin waras
Bagi orang waras kau mungkin gila
Atas dasar apa?
Bukankah tak ada ukuran pasti di dunia ini?
Terserah
Kita bebas memillih, bahkan untuk hidup atau mati
Yang jelas, hari ini aku memilih bersetubuh dengan hidup
Menikmati sentuhan demi sentuhan yang walau pada akhirnya akan bermuara pada kesakitan
Nyeri di tulang, dada, dan punggung belakang

Aku menyerah pada keadaan
Lalu memutuskan untuk sejenak mata ini memejam
Memberi jeda pada rongga dada
Menahan nafas, melihat hitam, lalu meninggi mengangkasa
Kulihat biru setelah abu-abu
Gradasi warna hitam dan putih yang selalu membayangi sudut kiri kanan mataku
Aku (mungkin) suka bagian itu
Bagian dimana aku mulai ragu-ragu tentang segala sesuatu
Itu... Itulah aku!

Aku membiru sebelum menjadi abu
Dikembalikan pada wujud asalku
Keberadaan dari ketiadaan
Setelah ada, muncullah tiada
Aku kehilangan, kemudian menemukan
Lagi menemukan, kemudian kehilangan
Demikian seterusnya
Mengenalku, bukan berarti memahamiku
Pada akhirnya aku mengaku
Bahwa aku sesungguhnya bukan benda imajiner di dalam kepalamu
Aku ini rumit, aku ini sederhana




Aku ini Ira....

"Pathetic Romantic" on the movie...




Helloooo duniaaaaa....

Ah, ga tahan nih jari-jari pengen ngetik sesuatu yang non akademis. (maaf Pak Dosen, saya ga kuat lagi baca teori malam ini, huweee... (TT___TT) )

Kali ini mau nyoba nyinggung tentang scene paling romantis di film-film barat yang pernah aku tonton. Dua diantaranya  adalah “a Walk to Remember” dan “Con Air”, ga lupa juga disertakan OST yang jadi background musicnya momen-momen itu... Let’s cekidot.

Aku bukan berniat bikin sebuah sinopsis sih, cuma sepenggal bagian dimana kesan romantisnya benar-benar terasa di dua film ini.


Tragedi Landon dan Jamie : a Walk to Remember

Sesudah Jamie diajak jalan sama Landon, malam itu Jamie kelihatan senang banget, karena selama ini ngga ada seorang teman cowok yang pernah mengajak dia keluar malam setidaknya untuk jalan keliling kota. Di tengah perjalanan, Jamie yang tadinya sudah memperingatkan Landon untuk tidak jatuh cinta sama dia, pelan-pelan mulai bilang “I’m sick-aku sakit”. Dan Landon yang kebingungan mengajaknya segera bergegas pulang lalu memintanya minum obat. Landon sama sekali tak punya gambaran tentang penyakit berat yang diderita Jamie sampai akhirnya Jamie memberanikan diri bilang bahwa dia mengidap Leukimia, penyakit yang kemungkinan untuk sembuhnya sangat-sangat tipis. Landon yang kaget mendengar pengakuan Jamie serasa tersambar petir, malam itu dia benar-benar bingung tak tahu harus berbuat apa dan bersikap bagaimana, yang jelas dia sangat sedih mendengar pengakuan Jamie.

Tapi Landon tak menyerah, dia tak meninggalkan Jamie begitu saja setelah dia tahu keadaan yang sebenarnya, justru dia malah ingin membantu Jamie merealisasikan daftar impian-impian yang dia ingin capai sebelum dia menghadap Tuhan. Dan itu terasa manis sekali. Tragis, tetapi manis. Ckckck...
Berikut ini cuplikan dialognya dalam bahasa asli (English):

Jamie: I'm sick.
Landon: I'll take you home. You'll be be...
Jamie: No. Landon! I'm sick. I have Leukemia.
Landon: No. You're 18. You - you're perfect.
Jamie: No. I found out two years ago and I've stopped responding to treatments.
Landon: So why didn't you tell me?
Jamie: The doctor said I should go on and live life normally as best I could. I - I didn't want anybody to be weird around me.
Landon: Including me?
Jamie: Especially you!
[Jamie looks down]
Jamie: [Landon gets upset]
Jamie: Ya know, I was getting along with everything fine. I accepted it, and then you happened! I do not need a reason to be angry with God.[ Jamie runs away]
(dikutip dari http://natasyaolivia.blogspot.com/2011/01/walk-to-remember.html)

Saat Jamie bilang “I’m sick” pelan-pelan mengalun lagu “I Dare You to Move” yang dibawakan band Switchfoot. Dan menurutku ini adalah bagian yang benar-benar menyayat hati. Keren.


An Emergency Landing in Las Vegas: the meet of the Poe’s

Satu lagi action movie yang sisi romatisnya ngga kalah kayak drama-drama melankolik. Con Air.
Bagian yang bikin film ini kelihatan rusuh sekali adalah bagian dimana Cameron Poe (Nicholas Cage) berjuang mati-matian untuk mendaratkan pesawat yang sudah dibajak oleh *rekan-rekan narapidananya di kota yang padat merayap Las Vegas. Pesawat yang sudah tak terkendali melayang rendah di atas kota Vegas, dan Poe berusaha memaksa pilot dadakan yang juga seorang napi (maaf, lupa namanya) untuk segera melakukan landing sementara pesawat sudah kehabisan bahan bakar dan mustahil untuk mendaratkannya dengan safe di bandara terdekat, McCarran Int’l Airport. Keadaan ini membuat mereka semua panik. 

Cameron Poe yang sudah bebas tahanan bisa saja meninggalkan situasi yang hectic itu, namun loyalitasnya pada seorang teman yang sakit, O’dell, membuatnya bertahan dan mengusahakan yang terbaik yang bisa ia lakukan untuk temannya yang sedang terluka itu. Cameron yang berniat menemui istri dan anaknya menahan rasa rindunya yang teramat sangat demi menyelamatkan temannya, meskipun pada saat itu, Casey, putri tunggalnya, sedang berulang tahun.  Setelah berjuang sekian lama, akhirnya pesawat pun mendarat dengan hantaman yang keras di sebuah lobi hotel dan menabrak tiang penyangga sampai akhirnya pesawat berhenti dengan terpaksa.  Setelah pesawat berhenti dan mereka berhasil keluar, dan setelah mengalami perkelahian yang cukup alot, akhirnya Cameron mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Tricia, istrinya, dan Casey, putrinya. 

Dengan menggenggam sebuah boneka kelinci yang sudah lusuh karena sempat tersapu air di jalanan, dan dalam keadaan yang amat sangat tak mendukung, di antara kerusuhan dan karut marut kota akibat kejadian jatuhnya pesawat itu, dan dengan penampilan yang begitu berantakan, akhirnya  Cameron memberanikan diri untuk menemui mereka di salah satu sisi jalan.
Dengan canggung Tricia menyapa Cameron, sepenggal dialognya:

Trisha Poe: 'Hello Cameron'
Cameron Poe: 'Hello hummingbird’

Tricia memperkenalkan Cameron kepada Casey, putri satu-satunya itu. Casey yang merasa takut melihat penampilan urakan ayahnya yang belum pernah ia temui itu menyelipkan wajah mungilnya dibalik baju ibunya, Tricia. Cameron menyodorkan boneka lusuh itu sebagai hadiah ulang tahun Casey, dengan ragu-ragu Casey menerimanya setelah diperintahkan ibunya.

Saat Cameron perlahan-lahan merangkul dan memeluk Tricia, lamat-lamat mengalun suara halusnya Trisha Yearwood membawakan lagu “How do I Live”-nya. Bagian ini terasa sangat romantis, entah kenapa, ditengah ke-hectic-an situasi saat itu, pemandangan saat The Poes saling berpelukan sangat menyentuh hati. Uh, romantis sekali..... (^__^)d


                                                               _____________________
That’s it. Sekian, terima kasih.

INNP. 04.07.12