Kepekatan menuju kejenuhan...



Hari ini sepertinya telah resmi
Kukawinkan 'sendiri' dengan 'sepi'
Mereka terlihat begitu senja
Dibalik balutan usia belia

Ya...
Tinggal tunggu waktu saja
Saat keduanya bersetubuh mesra
Dan akan melahirkan sesuatu
yang kelak diberi nama "Saturasi"

Diammu dan diamku bercumbu
Membisu, membiru hingga nyaris menjadi ungu
Dan ya,
pada akhirnya kita telah melahirkan rasa jenuh itu!

21.03.12

Pesan singkat dan segelas susu




Di sela-sela kesibukanmu merapikan diri dan hati
Di sela-sela hasratmu membunuh waktu
Aku teringat, dulu aku selalu menyapamu lewat pesan singkat

“Hari ini udah minum us us belum?”, sapaku

Kau tertawa, membaca pesan aneh dan nyeleneh dariku

“Kayak anak kecil aja” katamu

“Hei, ingat. Caffeine tak terlalu bagus buatmu, jangan membantah, ikuti saja kataku”

“Ya, ya. Okelah kalau begitu. Segelas susu sebelum tidur, ‘kan?”

“Ya, begitu” sahutku

Aku demikian mencemaskanmu, kesehatanmu…

Bagaimana aku tak cemas?

Kau yang setiap harinya berjibaku dengan karya, kopi hitam dan kepulan asap dari tembakau lintinganmu,

Ya, aku mencemaskanmu dalam jabatanku sebagai seorang teman lama, hanya itu, tak lebih. 

Setidaknya untuk saat itu.
...

Waktu itu kau merasa benar-benar manusia, seutuhnya.
Mendapat perhatian yang sungguh-sungguh kau nikmati dengan sewajarnya,
Seperti seorang anak kecil, lugu dan tak berprasangka…

Aku selalu senang mengingat bagian itu.
Bagian dimana kita merasa seperti saling melengkapi.

Aku yang selalu ingin memberi atensi,
entah karena rasa ingin memiliki atau hanya sekedar simpati,
aku tak terlalu peduli...

Yang aku ingat, waktu itu, kau dan aku sedang saling mengisi...
pemberianku yang kau anggap mulia, lagi-lagi soal apresiasi dan pengakuan diri dan eksistensi
Dan kau dengan sukacitanya menerima tanpa tergesa-gesa.

Ya, bagian itu aku suka.  Tak lebih.

Segelas susu yang (semoga) mengingatkanmu tentang aku.

“menemui” lalu “menemukan”




Hmm…
bagiku tak masalah jika pertemuan yang lalu itu dianggap sebagai sebuah ‘titik temu’, 
karena sebenarnya memang demikian.

Kesampingkan soal “titik”, 
“titik” itu hanya sebuah “tanda”, atau lebih tepatnya “momen” pertemuan itu sendiri.  (setidaknya begitulah bagiku…)

Dua garis –yang tadinya mungkin berjalan dari arah yang berlawanan- akan lebih nyata perpotongannya jika tepat pada satu titik. 
Dan titik membuat perpotongannya menjadi semakin jelas, bukan? 
Titik itu kelak menjadi titik seimbang, 
ibarat titik equilibrium dalam sebuah grafik supply dan demand, hahaha... 

Dan di sanalah keseimbangan itu kita temukan. 

Setelah merasa perlu untuk saling menemui, maka sesuatu setelah pertemuan itu kita temukan. 
Mungkin ini bisa kusebut sebagai “refleksi diri”
Cerminmu adalah aku, cerminku adalah kamu. 

Dan dari titik dimana kita berpijak saat itu, aku semakin sadar bahwa aku tak sendirian, setidaknya karena aku merasa semakin mencintai apa yang ada dalam diriku,
Berusaha untuk mengurai makna dari setiap ujaran, mimik dan bahasa yang mungkin tak lagi sanggup dibahasakan dalam kata-kata. 

Lebih dari itu. Semuanya berawal dari sebuah keinginan untuk bertemu, lalu ternyata kita telah saling ‘menemukan’.

setelah titik temu itu...



“Seharusnya Batak yang sendirian itu bernyanyi”, menurutku demikian.

Tapi ingat ‘kan, aku pernah bilang “Aku Batak karbitan lho”,  

dan saat itu dahimu mengernyit tanda kebingungan.

Kocak…

Bertemu dan berkelakar dengan sosok yang baru setahun ini kukenal, 
tapi rasanya seperti bertemu teman lama saja
Aneh…
...

Dari batu besar yang sedikit mengganggu rasa nyamanmu kita beranjak bergegas mencari tempat yang lebih nyaman untuk bercerita

Meskipun pada dasarnya bagiku sama saja, 
rasa nyaman itu sebenarnya muncul ketika aku mulai merasa mampu menuangkan isi kepala dalam rupa bahasa dan kata-kata- yang aku tahu persis bahwa sebagian besar masih terasa ngasal di telingamu- tanpa merasa ada kejanggalan di sana. 

Bagiku sebuah apresiasi itu penting, 
dan itu kudapatkan dalam perjumpaan ini
Kujelaskan bahwa perihal perjumpaan ini ibarat menemukan –ah, semoga ini tak berlebihan- oase di padang gurun
Karena sudah kuceritakan bahwa rasanya sulit bagiku menemukan seseorang yang “sama uniknya”, ya, demikianlah kira-kira. 

....
Ingat?
 
Kita bicara tentang ini dan itu. 
Mulai dari “mejeuhna” sampai kepada “kabita”. 

Pertemuan dua budaya yang berbeda di sana
Saat seorang Batak ingin mengenal apa itu Sunda
“Kabita?”  tanyaku
“Iya, K-a-b-i-t-a”, jawabmu sambil mengeja
“Oh.. Hahaha, lucu ya, ‘kabita’” 
Aku mengulanginya sambil bernyanyi tak jelas, sekedar bertingkah konyol tak tentu

Aku tahu bahwa bagimu tak ada yang lucu di situ,
tapi bagiku, kata-kata itu sedikit "menggelitik" telinga Sumatera-ku,
bahasa yang halus sekali,
beda dengan bahasa yang dulu biasa kudengar

...

Dan hari itu pun berlalu…

Terima kasih, teman.

Titik temu yang terjadi hari itu juga sebagai peringatan bagiku bahwa di sini, aku tak merasa asing lagi, setidaknya setelah perjumpaan itu.
Kesediaanmu mendengar, 
kesediaanmu berbagi, 
kesediaanmu meluangkan waktu dan ruang bagiku adalah penghargaan tertinggi dari seorang teman, yang kelak akan menjadi sahabat pula. 

Aku menghargai semuanya,
yang entah kenapa pengalaman itu bagiku seperti mendapat tambahan rasa asin dalam semangkuk sup ayam yang tadinya hambar. 
Begitulah kira-kira.


……the end (?)


Kepada aa David Setiadi, yang dengan baik hati meluangkan waktu dan ruang buat sahabatnya ini.
Salam sehat selalu. (^_^)

Penerjemah Sepi




Penerjemah Sepi

Menyaksikan satu per satu kenangan itu menguap di udara
Mungkin tak kasat mata, tapi setidaknya akan terdengar di telinga
atau terasa di indera peraba...
Mendadak aku sadar, di sana tak lagi ada suara...
Aku menjadi sendiri, lagi...


Dengan sepi...
berteman dengan sepi, bagiku sudah biasa
tapi kini semua tak lagi menjadi biasa, ketika kau menawarkan selaksa rasa
kini semua tak lagi menjadi biasa, ketika kau memperjualbelikan kelakar yang sialnya kuanggap istimewa
….
Aku menjadi pengamat rinduku sendiri
Berangkat bersama pagi, tenggelam bersama malam
Menunggu datangnya pagi untuk meluluhlantakkan sepi
Entah kenapa rasanya akhir-akhir ini sepi semakin menjadi-jadi
Aku tak lagi bisa mengerti, mengapa ia sepertinya betah berlama-lama bermain di sini,
Di hati
....
Aku menjadi korban perasaanku sendiri
Membunuh waktu dalam hening tak menentu
Dan sepintas kenangan dari masa lalu datang mengganggu
Mencoba mengacaukan lagi pikiran si dungu
Yang entah kenapa selalu dengan bodohnya termangu karena lagu lama yang mendayu
Seolah terus merasa terbujuk rayu
Dan dengan tenangnya bersembunyi dibalik sepi itu
Sampai dia sadari bahwa kini hanya dia yang tersisa, dia yang tak lagi bisa mengurai makna
….
Sepi yang dulunya bersahabat denganku
Kini ia berbalik menusukku
Dan mengambil peran seperti seorang musuh yang siap bergerilya

Aku tahu betul bahwa…

Aku sama sekali tak punya kompas untuk mengajakku
Merujuk navigasi yang membawaku pada destinasi
Aku sama sekali tak punya kitab untuk membantu
Merujuk tanda-tanda bahasa yang membawaku pada makna
Aku sama sekali tak punya itu semua…

Dan kini, di sini, dalam keheningan yang terasa seperti rangkuman segenap tanya
Kembali aku menjadi
Penerjemah sepiku sendiri


Jt.nangor
Wed-070312