Belakangan ini, aku sering bermimpi.
Mimpi yang mengacau, entah ke mana arah tujuannya.
Aku tak merasa pernah merekam ingatan atau menangkap fenomena macam itu dalam realita
Tetapi dalam mimpi, ternyata semuanya bisa terjadi,
Ya, semuanya… bisa terjadi…

Mimpi…
Mimpiku (baca: impian) sederhana,
Atau lebih tepatnya : kelihatan sederhana

Partnerku…
Mari kita berburu…

Hidup ini terlalu singkat, tapi bisa menjadi demikian berwarna
Jika kita bisa gunakan waktu yang singkat sebaik-baiknya, sesungguh-sungguhnya..

Mari kita berburu…
Berburu banyak pemandangan yang bisa terekam dalam ingatan,
Sampai kau tua, sampai aku tua, sampai kita tak sanggup mengingat apa-apa lagi, sampai kita mati
Sisakan ruang bagiku dalam ingatanmu, ya.

Mari kita berburu,
Aku ingin mengabadikan burung-burung gereja di atap rumahku, di tali jemuranku, di pohon belakang rumahku, bersamamu, dalam satu dua lembaran klise atau digital itu.
Kita tunggu berjam-jam sampai kita temu fokus terbaik yang bisa menunjukkan padamu mengapa aku demikian menyukai burung gereja, partnerku…
Ya, burung gereja itu berwajah sendu… representasi kesepianku, dulu.

Mari kita berburu,
Aku ingin memotret gunung-gunung sampah bersamamu, di tempat itu, tempat paling kotor di kotaku,
Kita abadikan wajah-wajah sayu, wajah seorang dua orang ibu dengan sejuta asa yang tertumpuk rapi di antara bau busuk dan pesing dan amis dan menyengat itu.

Aku ingin mendaki gunung  bersamamu, jika bisa, kita di Mahameru, tempat yang aku ingin kunjungi suatu saat nanti
Tempat dimana bunga abadi-edelweiss- dengan anggunnya bersemi, seperti sedang kedinginan tetapi mereka justru sedang saling menghangatkan.  
Begitu rapatnya kuntum demi kuntum, seolah saling berbicara :”Mari kita menghangatkan diri! Merapat, merapat, biar hangat!” begitu barangkali?
Aku ingin memotret dengan mataku, tidak dengan lensa itu, partnerku…

Aku ingin menuangkan secangkir kopi dengan krimmer buatmu, tidak dengan gula tebu, tak terlalu manis, karena kau benci dengan rasa yang terlalu berlebihan, rasa manis kau tak terlalu suka, katamu.
Tidak mengapa, kuaduk dengan setengah sendok gula saja… reguk perlahan pahitnya kopi itu, semoga lembutnya krimmer bisa menyisakan sedikit rasa manis pada lidahmu.

Aku ingin membaca buku kesukaanku bersamamu, partnerku
Katamu kau tak suka membaca, biar aku baca saja, lalu kuceritakan semuanya langsung ke telingamu.
Tak mengapa.

Aku ingin bersepeda bersamamu.
Mengayuh pedal sepeda sampai semaput, sampai kalut, berlelah-lelah dan berpeluh.
Jangan lupa, bawa handuk itu serta. Ingat, aku ini orang yang detail, partnerku.

Aku ingin bermain badminton bersamamu.
Mengibas-ngibaskan raket dan menembus net, dengan sabetan-sabetan smash dengan tenaga yang tak seberapa.
Jangan lupa, bawa botol minum itu serta. Ingat, aku ini orangnya mudah berkeringat partnerku. 

Oh iya, aku juga ingin memotret langit biru, partnerku.
Kau tahu kalau aku suka biru. 
Laut, langit, biru. Sertakan juga dandelion dalam sebuah bingkai bersama birunya langit itu, partnerku.

Aku ingin kita berjemur, berjalan, berlari, menaiki bus, turun, berjalan dan berlari lagi, semuanya semuanya semuanya kita lakukan di bawah teriknya matahari.
Aku tak takut kulitku legam, partnerku. Aku ini mencintai matahari, bukan karena ada “Ra” pada “Ira”, namaku, tetapi karena aku harus, mencintai matahari sebagai salah satu sumber daya dalam hidup ini.
Jangan lupa, bawa juga obat-obatan itu serta, kau ingat ‘kan aku punya alergi? 

Itu mimpiku…
Akan kusisakan ruang untuk mimpimu, di sini partnerku. Di dalam kepalaku.
Sampai nanti, dalam mimpi, dalam dunia masa depan yang kita tak akan pernah ketahui kapan dan dimana lagi kita akan bertemu dan hidup dan menghidupi segala yang perlu dihidupi dalam hidup dan kehidupan ini.

.fin.