Menjemput jawaban di tahun depan





Oh, kurang dari 48 jam lagi semua manusia akan mengucapkan selamat tinggal pada tahun 2013

Semua manusia akan larut dalam gegap gempita meriahnya pesta perpisahan tahun lama dan penyambutan tahun baru

Selebrasi akan diadakan di sana sini, lengkap dengan segala hiburannya,
Musik, sajian yang serba sedap, obrolan yang seperti tak akan pernah berakhir, bunyi terompet yang memekakkan telinga, hitungan mundur 10 sampai 1, warna warni kembang api, dan tentu, ada banyak lagi model selebrasi

Apa yang dilakukan oleh aku dan keluarga sebagai tradisi, entah itu tradisi religi atau tradisi suku,
biasa disebut ‘censura morum’; 
yang secara etimologi berasal dari bahasa Latin yang maknanya adalah “examination of conduct” atau “pemeriksaan perilaku”

Ya, ‘pemeriksaan perilaku’ 
Sebuah acara pengakuan, introspeksi dan perenungan diri dan keluarga, yang kemudian diakhiri dengan permintaan maaf dari masing-masing anggota keluarga tepat setelah jarum jam menunjuk angka dua belas lebih satu di tahun yang baru

Sayangnya, tahun ini aku tak akan terlibat di dalamnya. 
Jarak memaksaku untuk merenung sendiri di kejauhan ini
Tak masalah
Aku di sini akan punya banyak peluang untuk sekedar perenungan

Yah, barangkali tahun depan adalah tahun bagiku untuk menjemput beberapa jawaban atas beberapa pertanyaan kehidupan

Jawaban untuk sebuah akhir yang indah dari perjalanan yang menghabiskan waktu 365 hari dikali tiga
Jawaban untuk sebuah keingintahuan dari peristiwa yang sifatnya ragawi yang masih belum terpahami
Jawaban untuk sebuah penantian atas pengabdian dan pemberdayaan diri
dan jawaban atas begitu banyak tanya yang selalu berteriak di rongga dada dan kepala
berteriak menuntut jawaban dan kepastian, 
apa yang bisa kulakukan? Sedang aku pun adalah sebuah ketidakpastian.
Atas semua proses yang sudah dijalani dan pembelajaran yang sudah diterima, 
pantaslah kiranya aku menjemput jawaban-jawaban itu dengan tangan dan usahaku sendiri
Sekian lama sudah aku bersabar menunggu dan menunggu sampai menggagu, 
waktu tak pernah memberi jawaban, bahkan kini muncul lagi lebih banyak tanya

Ah, waktu.

Memang waktu tak kenal ampun.
Berkali-kali aku sudah jatuh dan terseret dalam gelombang keputusasaan, 
tapi tak sejenak pun ia berhenti dan memberi jeda untukku mengambil nafas dan kemudian bangkit lagi,

Tak akan pernah itu terjadi.

Maka Daud sang Pemazmur pernah menyuratkan:  “Ajarlah kami menghitung hari-hari sedemikian rupa agar kami beroleh hati yang bijaksana”

Ya, menghitung hari sedemikian rupa berarti juga siap menjalani hari dengan sebaik-baiknya sehingga tak semenit pun terlewatkan dengan sia-sia.

Tahun baru, Tahun berganti.
Resolusi?
Ah, basi.

Mungkin sudah kurang layak aku menyebut segala macam rencana dan obsesi dan ambisi dan misi di tahun depan sebagai sebuah resolusi.

Yang aku butuh saat ini adalah REVOLUSI dan REFORMASI. 
Memperbaiki diri untuk kemudian membentuknya kembali.

Perubahan dan penggubahan yang cepat dan mendasar yang perlu dilakukan untuk menata diri sendiri, 
Rasanya ini lebih berat dari hanya sekedar resolusi.
Ini mesti dilakukan untuk hidup yang lebih berdaya guna di kemudian hari nanti.


Oke, aku harus bersiap menuju tahun baru
Bergegas dengan segala kelengkapan daya dan upaya yang aku punya.

...
Jika waktu memang tak pernah menunggu, 
biarlah aku menjemput sendiri jawaban-jawaban itu.

30.12.2013
Penghujung tahun dengan hati yang harap-harap cemas.

Aku 'hanyalah' Ra.



Apa yang aku takutkan selama ini memang sudah kejadian
bodohnya lagi, kenapa aku tetap merasa sakit jika memang itu sudah kuperkirakan
Kenapa?
Mungkin karena rasa sakit itu munculnya hanya sesaat setelah rasa cinta

Balutan rasa yang selama ini manis adanya kian terbuka
menganga dan mulai menyeruakkan aroma
aroma yang memaksa aku dan kamu memilih untuk mengambil keputusan
meski berat, tapi katamu kita harus mencoba perjuangkan

Dalam segala perbedaan, kau selalu kuindahkan
dalam segala kekurangan, kau selalu kulebihkan
Dalam segala kerinduan, namamu selalu kudengungkan
dalam segala kesalahan, kau dan aku selalu saling mengingatkan

Tadi malam, mungkin adalah puncak dari segala puncak rasa
ibarat musim penghujan, Desember memang puncak curah hujan tertinggi, katanya
Barangkali juga demikian tentang kita, penghujung bulan di tahun penghujung ini
kita mulai saling melukai, menyakiti, dan akhirnya membuncahlah segala rasa
dalam segala rupa; gestur, tutur kata, aksara, dan bahasa

Kamu dan aku memang berbeda, kataku
yang menjadikan kita bersatu pada dasarnya hanyalah rasa cinta,
Hanya itu modal kita, kataku
Tapi tampaknya tak pantas lagi kini aku menggerutu tentang persamaan dan perbedaan

Keadaan ini salah
tapi kita tak punya kesempatan untuk memperjelas situasi dalam tatap muka
mata ke mata, hati ke hati
Pertemuan, tahun ini adalah sebuah kenisbian

Itu sebabnya, barangkali?
Aku perlahan-lahan di sini, dalam jarak ribuan kilo ini,
terpuruk dan terjajah oleh sepi
Kesunyian bukan apa-apa bagi hatiku, tapi ini beda lagi.
Ini adalah kesepian. Yang teramat sangat. Kesepian.

Apakah itu yang membuatku-katamu-semakin berubah
menjadi terlalu menjadi-jadi
menjadi bukan diriku lagi
lalu, jika begitu, siapa aku ini?

Semalaman aku menginterogasi diriku sendiri
bertanya-jawab tanpa lelah
sampai akhirnya aku menarik sebuh simpulan:
"Ya, akulah Ra. Perempuan yang sulit dimengerti itu."

Tentangku,
Jika aku sudah menemukan banyak di dalam yang sedikit itu,
maka aku tak akan meminta lebih.

Tentangku,
Sedikit saja yang mau mengertiku apa adanya,
dan di antara yang sedikit itu hanya akan ada lebih sedikit lagi yang mau menerimaku,
apa adanya.

Kekasih, di bagian mana gerangan kau berada?
Di antara yang sedikit saja, atau di antara yang lebih sedikit lagi itu?





Selamat pagi, dunia.
Berteman baiklah denganku hari ini.
21.12.2013

Ah! Maaf, aku mau muntah!



Been a year since I did my 1st step, God.
Kuakui proses ini sangat amat tidak menyenangkan; digembleng, dicobai, diuji, diabaikan, dinomor-sekiankan, didiamkan.

Kuakui, aku sudah mulai merasa lelah; dalam segala ketidakpastian aku harus belajar menunggu dgn sabar, belajar menyalakan api semangat agar tak pernah padam, belajar mengoreksi karakter diri sendiri, belajar utk terus berjuang dan berusaha, belajar untuk melebur dgn gelombang2 manusia sekitar.

Tapi agaknya, rasa takut itu mulai membebani. Pikiran mulai terbagi sekian. Bicara ttg pencapaian-pencapaian.

Aku mulai capek... Maaf jika aku masih terlalu dangkal utk menyelami kolam sedalam ini. Maaf jika aku masih terlalu bodoh utk berusaha menjadi sepintar itu.

Tapi, Tuhan mengajarkan aku utk tidak menyerah. Satu hal yg kuyakini;
"Dia yg mengantarkanku sampai sejauh ini, Dia pula lah yg akan memampukan aku utk mengakhiri dengan indah, pada waktu-Nya."

Dalam hening, dalam diam, dalam segala ketidakpastian, kucoba untuk bersabar.

Tentang Ibu, Memang Tak Pernah Ada Habisnya!





Ini memang bukan hari Ibu, tapi saat ini aku sedang memikirkan ibuku.
Manusia berubah, tapi tidak dengan ibuku…
Kira-kira alasannya apa ya?

Mungkin ini karena 9 bulan lamanya aku ‘menumpang’ di rahim ibu, makanya apa yg dirasakan ibu, aku ikut juga merasakannya. Apa yg dimakan ibu, aku juga turut mencicipinya. 

Waktu berganti, ibu sungguh-sungguh merawat dan membesarkan aku dengan segala kurang lebihnya,
Kepadaku, selalu nilai-nilai baik yang ia tanamkan, berharap bibit-bibit kebaikan itu kemudian hari akan berbuah kebaikan pula. 

Ibu hari ini menggugah kesadaranku…

Saat dunia tak mau menerimamu dengan tangan terbuka, tangan ibu yang berkerut dan renta itu selalu terkembang untuk memelukku kembali pulang

Saat teman tak lagi mau mendengarkan dengan telinga yang setia, telinga ibu yang sudah sepuh mendengar selaksa cerita dunia itu selalu setia tersendeng untuk mendengar tangis-tawaku.

Saat manusia menyematkan label-label dan mejatuhkan penghakiman-penghakiman terhadapku, atas baik dan burukku, ibu selalu menerima tanpa prasangka, tanpa penghakiman apa-apa. 

Saat aku gagal dalam satu-dua usahaku, mereka mencibir dan memandang rendah padaku, tetapi ibu akan selalu menabahkan hati dengan berkata “Tak apa, yang penting kau sudah berusaha, lain kali kita coba yang lebih baik ya.”


*Semoga lekas sembuh, Mak.

-Harapan yang tersurat di antara aroma kopi dan aroma tanah debu yang baru diguyur hujan malam ini-

"Cermin"



Cahaya keemasan datang perlahan 
Di antara celah-celah tirai berenda
Seorang wanita dengan kantung mata
Hitam, legam, didapat setelah lelah diam dalam kekosongan

Pertikaian sengit antara rasa dan logika
Pertikaian dengan hati sebagai medan perangnya
Siapa beroleh menang?
Tak ada.

Karena selalu saja pertikaian itu terhenti di satu titik: "kejenuhan".

Cahaya keemasan datang perlahan
Senja hari itu terasa lebih tak sopan
Menampar pipinya, kiri dan kanan
Panas terasa dalam rongga udara, rongga nafasnya
Disapukannya tangan ke sebuah cermin di sisi jendela
Sambil bertanya pelan, "Apa kabar, Ra?"



23.10.13

Kepada: Masa Lalu.





Masa laluku, masa lalumu…
Apa yang kita ketahui tentang masa lalu?
Ada yang datang menghampiri seperti seorang sahabat dekat,
Ada pula yang menyergap seperti bala tentara musuh yg siap membantai sekali sikat.
Masa lalu…
Ada haru, ada rindu, ada cinta, ada luka, ada manis, ada pahit, ada perih, ada elegi, ada romansa
Semuanya pernah terjadi di sana
Ingatan yang membawa kita pada petualangan luka penuh trauma,
Atau membawa kita pada perjalanan manis penuh tawa.

Masa lalu…
Dulu pernah ada kata rindu,
Dulu pernah ada tanya “apa kabar” dan segala sapa di dalamnya
Dulu pernah ada kata tanya “dimana”, “kapan”, “siapa”, dan “kenapa” di dalamnya
Dulu…
Di masa lalu

Masa lalu,
Bisakah kita kibarkan bendera putih hari ini?
Kita berdamai, berteman, mungkin tak bersahabat, cukup untuk saling mengerti bahwa kita tak lagi bisa terus seperti ini.
Berilah aku ruang dan waktu untuk bergerak maju pada kekinian dan masa depanku

Masa lalu,
Bisakah kita duduk diam dalam tenang sambil meneguk secangkir teh di beranda hatiku?
Kita bercengkrama, kita tertawa, bercerita tentang segala kejadian dan peristiwa yang mengaduk hati, menguras air mata bahkan membuat perut mulas karena tawa yang membahana.
Berilah aku maaf jika memang aku pernah membuat kesalahan pada relung waktumu

Masa lalu,
Aku tak pernah meniadakanmu, kau selalu terselip di antara mimpi dan bangunku,
Tapi kumohon, jangan tampakkan dirimu dalam rupa murka angkara,
Hadirlah sebagai putih-putih kelopak bunga yang beraroma vanilla,

Masa lalu,
Teman sekaligus musuh dalam satu waktu…
Mari, berdamailah denganku.

Salam hangat, 
Masa kini-mu.

Si Perasa itu Disebut "Wanita"



Rumuskan segala rasa dalam sebaris atau lebih formula demi formula,
Coretkan angka demi angka dengan tanda-tanda matematis di antaranya,
Namun tetap, kau takkan temu rasa di sana.
Apa yg kau dapat hanyalah sejumput rasa hambar, tak bernyawa, tak menghangatkan, karena kau bukan sedang meretas makna menjadi rasa, atau sebaliknya...
Kau hanya sedang "merumuskan" rasa, yg tentu tak mungkin ada ramuan pastinya.
Selamat mencoba.

***

Jika aku gagal membuat perhitungan pasti tentang isi hati,
Itu karena aku memang bukan ahli ilmu pasti.
Jika aku gagal membedah segala rongga paru-paru yg mengembuskan nafas cinta ke udara,
Itu karena aku memang bukan seorang ahli bedah yang ternama.
Jika aku gagal menghubungkan koneksi hati dengan media yang mengantarainya,
Itu karena aku memang bukan seorang teknisi.

Aku bukan siapa-siapa, kekasihku.
Aku ini cuma si perasa yang mungkin terlihat dungu,
Aku hanya mengerti bahasa yang dibahasakan hati lewat kata-kata dan aksara yang meretas menjadi makna

Aku bukan siapa-siapa, kekasihku.
Aku ini cuma si perasa yang mungkin awam terhadap segala kepastian,
Aku hanya sadar bahwa kita hanya terombang-ambing dalam raga yang fana,
hidup dalam ketiadaan dan ketidakpastian.
Aku hanya menikmati tiap detik untuk merasa, memaknai, dan memahami segala afeksi.

Aku bukan siapa-siapa,
Aku hanya seorang perasa.
Aku hanyalah seorang "Wanita" (?)

Aku: Titik dan Daun Kering





Sesungguhnya ya Tuhan, aku tak pernah meminta segala hal yang menyulitkan, menyakitkan, atau mencelakakan sekalipun terjadi pada diriku… itu yang terbaik MENURUTKU.

Egoku dalam setiap doa membuat rapalan doa menjadi hambar, tak lagi harum sesuai ingin-Mu, dan apa yang kumintakan bukan apa yang kubutuhkan, tetapi apa yang kuinginkan.
Aku bersembunyi dibalik topeng kepura-puraan. Berpura-pura dengan kesadaranku dalam memaknai kehidupan yang Kau beri dengan cuma-cuma ini.

Sesungguhnya ya Tuhan, aku mengetahui bahwa Kau tahu apa yang paling aku perlu, Kau mengijinkan segala kesulitan, kesusahan, kesakitan, atau apa yang kusebut bencana sekalipun terjadi atas diriku itu karena Kau mengerti betul bahwa semuanya itu akan membuatku menjadi lebih tahan uji, itu MENURUTMU.
...
Aku ini ibarat titik, ya Tuhan. Debu pun aku tak sampai. Hanya setitik renik yang terabaikan. Terlalu hina dan fana jika ku bandingkan diriku kepada alam semesta Maha Karya-Mu ini, ya Tuhan. 

Aku ini ibarat daun kering, ya Tuhan. Bunga pun aku tak sampai. Hanya sehelai daun yang jatuh dari pohon yang meranggas. Terlalu ringkih dan rapuh jika kusejajarkan diriku dengan jagad raya Karya-Mu ini, ya Tuhan.

Tapi Tuhan, titik pun aku, kiranya perkenankanlah aku berada dalam satu stanza, dimana aku bisa menempatkan diriku dengan apik dan baik di sana, menjadi bagian paling akhir dari sebuah syair indah hasil gubahan-Mu, Bapa. Kiranya aku menjadi titik yang berguna dan berdayaguna, tak tersia-sia dalam hingar bingar jagad raya. 

Tapi Tuhan, daun kering pun aku, kiranya Kau perkenankan aku terbawa angin hendak-Mu untuk kemudian jatuh dan mendarat di sebuah taman asri yang Kau tata sendiri, jatuh di antara bunga-bunga indah kepunyaan-Mu untuk kemudian aku membusuk dan menjadi pupuk. Memberi faedah bagi bunga-bunga indah kepunyaan-Mu, Bapa. Kiranya aku pun menjadi daun kering yang berguna dan berdayaguna, tak tersia-sia dalam karut marut semesta. 

Aku ini bukanlah sesiapa, Tuhan. Terlalu berani aku meminta kepada-Mu. 
Terlalu lancang aku memohon pada-Mu. 

Seketika aku mengingat sabda-Mu dalam barisan ayat-ayat Injil-Mu. 
Kau yang berkuasa dan berada dalam segala kedigdayaan-Mu menyebutku mulia dan serupa dengan-Mu, ya Tuhan.

Siapakah aku ini, Tuhan, hingga Kau mengasihiku sedemikian rupa, menembus batas keIlahian-Mu untuk setara dengan manusia yang hina.
Siapakah aku ini, Tuhan, hingga Kau menunjukkan bulat hati-Mu mengambilku dari jerat maut, salib itu Kau jadikan bagian-Mu.
Siapakah aku ini, Tuhan, hingga Kau senantiasa setia sepenuh hati-Mu di atas ketidaksetiaan dan pengkhianatanku pada-Mu.
Lalu aku? Apa yang sudah kuberi untukMu?
Tak ada.
Mestinya aku memberi segala cinta daya upaya karya dan karsa, tapi aku belum berbuat apa-apa.

Dalam kerendahan dan ketiadaanku, aku mengaku ya Tuhan. 
Bagian-Mu lah yang memenuhi kekosonganku agar kiranya kepenuhan-Mu menjadi bagianku. 

Berkenankah Kau, Tuhan?

Ya Tuhan, raga dan jiwa kiranya aku persembahkan sebagai bagian yang harus sepenuhnya menjadi kepunyaan Kerajaan-Mu di nirwana.

Tak bolehlah aku meminta-paksa, kupinjam dan kupakai tanpa maksud dan tujuan yang berguna di dunia, di tempat dimana aku Kau titipkan, sementara. 

Ya Tuhan, ijinkan aku meminjam raga ini sampai batas waktu yang Kau kehendaki.
Ajarilah aku untuk menggunakan dan merawatnya sedemikian baik, agar kelak ketika Kau memanggilku pulang, raga ini pun masih dalam keadaan yang Kau kehendaki.

Ya Tuhan, dalam kelemahan ragawi, kiranya jiwaku tetap hidup dan menjadi bagian yang paling indah yang bisa kupersembahkan untukMu kini dan nanti.

Tak ada alasan bagiku lagi untuk tak berucap “terima kasih, Tuhan”.
Atas segala susah dan senang…
Atas segala keberadaan dan ketiadaan…
Atas segala sehat dan sakit…
Atas segala tawa dan air mata…
Atas segala hidup dan nanti mati…
“Terima kasih, Tuhan.”