Di antara rasa benci dan rasa suka, ada satu rasa lagi,
"Rasa biasa".
Bisa kan, kamu bayangkan?

Aku tak membenci, tapi tak juga menyukai.
Jadi, biasa saja, seperti orang asing yang bertemu dalam gelombang langkah kaki ribuan manusia di sebuah jalan asing dan terasing.
Pagi tadi aku mendapati diriku berubah, untuk sebuah alasan.
Aku bercermin, tapi tak menatap sesiapa pun di sana.
Miris... kemana diriku yang dulu?
Yang biasa hangat, seperti tuangan pertama dalam cangkir kopi keramik
yang disajikan di atas tatakan putih yang mulai menguning karena kafein.
Kepada yang terdekat, kepada yang terkasih...
...
Di antara rasa benci dan rasa suka, ada satu rasa lagi,
"Rasa biasa".

 Pagi tadi aku bicara, membatin pada diri sendiri
Tragis... apa yang telah memakan hatiku?
Aku, yang biasanya kasih, seperti sekaan seorang ibu di pipi anak perempuannya,
yang menunjukkan halus dan kasihnya yang terwakilkan lewat seusap usapan tangannya.
....
Di antara rasa benci dan rasa suka, ada satu rasa lagi,
"Rasa biasa".
Demikianlah kini aku, kau, dan kita.
Kita terlalu lelah dimakan kenyataan

Aku, sesungguhnya tak ingin berubah
Tak akan kuijinkan apa atau siapa pun mengklaim hati kepunyaanku, tak akan!
Ini hatiku, milikku satu-satunya
Tak akan kuserahkan pada kejamnya kenyataan, busuknya kedengkian, pahitnya kebencian, atau panasnya amarah.
Tak akan...

Percayalah,
Di sela-sela kebekuan ini, kedua tangan masih ingin menjabat,
Menuangkan rasa baru kepada hati agar bisa menghangat
Namun, ijinkanlah kiranya saat ini
Aku beristirahat sejenak dari hiruk pikuk ini
Aku ingin mencari jalan kembali kepada kemurnian hati
Seandainya kau inginkan aku kembali,
Tunggulah, nanti.

Aku tak membenci, tapi tak juga menyukai.
Tak lebih, tak kurang.
Di antara rasa benci dan rasa suka, ada satu rasa lagi,
"Rasa biasa".
Demikianlah kiranya kita saat ini, sampai nanti.


Jatinangor,
27 Juni '13
Kamis dengan tekanan tinggi,
dengan lambung yang seperti ingin meledak,
12:06 WIB