Aku: Titik dan Daun Kering
- ..
Sesungguhnya ya Tuhan, aku tak pernah meminta segala hal
yang menyulitkan, menyakitkan, atau mencelakakan sekalipun terjadi pada diriku…
itu yang terbaik MENURUTKU.
Egoku dalam setiap doa membuat rapalan doa menjadi hambar,
tak lagi harum sesuai ingin-Mu, dan apa yang kumintakan bukan apa yang
kubutuhkan, tetapi apa yang kuinginkan.
Aku bersembunyi dibalik topeng kepura-puraan. Berpura-pura dengan
kesadaranku dalam memaknai kehidupan yang Kau beri dengan cuma-cuma ini.
Sesungguhnya ya Tuhan, aku mengetahui bahwa Kau tahu apa
yang paling aku perlu, Kau mengijinkan segala kesulitan, kesusahan, kesakitan,
atau apa yang kusebut bencana sekalipun terjadi atas diriku itu karena Kau
mengerti betul bahwa semuanya itu akan membuatku menjadi lebih tahan uji, itu
MENURUTMU.
...
Aku ini ibarat titik, ya Tuhan. Debu pun aku tak sampai. Hanya
setitik renik yang terabaikan. Terlalu hina dan fana jika ku bandingkan diriku
kepada alam semesta Maha Karya-Mu ini, ya Tuhan.
Aku ini ibarat daun kering, ya Tuhan. Bunga pun aku tak
sampai. Hanya sehelai daun yang jatuh dari pohon yang meranggas. Terlalu ringkih
dan rapuh jika kusejajarkan diriku dengan jagad raya Karya-Mu ini, ya Tuhan.
Tapi Tuhan, titik pun aku, kiranya perkenankanlah aku berada dalam satu stanza, dimana aku bisa menempatkan diriku dengan apik dan baik di sana, menjadi bagian paling akhir dari sebuah syair indah hasil gubahan-Mu, Bapa. Kiranya aku menjadi titik yang berguna dan berdayaguna, tak tersia-sia dalam hingar bingar jagad raya.
Tapi Tuhan, daun kering pun aku, kiranya Kau perkenankan aku terbawa angin hendak-Mu untuk kemudian jatuh dan mendarat di sebuah taman asri yang Kau tata sendiri, jatuh di antara bunga-bunga indah kepunyaan-Mu untuk kemudian aku membusuk dan menjadi pupuk. Memberi faedah bagi bunga-bunga indah kepunyaan-Mu, Bapa. Kiranya aku pun menjadi daun kering yang berguna dan berdayaguna, tak tersia-sia dalam karut marut semesta.
Aku ini bukanlah sesiapa, Tuhan. Terlalu berani aku meminta
kepada-Mu.
Terlalu lancang aku memohon pada-Mu.
Seketika aku mengingat sabda-Mu dalam barisan ayat-ayat
Injil-Mu.
Kau yang berkuasa dan berada dalam segala kedigdayaan-Mu menyebutku
mulia dan serupa dengan-Mu, ya Tuhan.
Siapakah aku ini, Tuhan, hingga Kau mengasihiku sedemikian
rupa, menembus batas keIlahian-Mu untuk setara dengan manusia yang hina.
Siapakah aku ini, Tuhan, hingga Kau menunjukkan bulat
hati-Mu mengambilku dari jerat maut, salib itu Kau jadikan bagian-Mu.
Siapakah aku ini, Tuhan, hingga Kau senantiasa setia sepenuh
hati-Mu di atas ketidaksetiaan dan pengkhianatanku pada-Mu.
Lalu aku? Apa yang sudah kuberi untukMu?
Tak ada.
Mestinya aku memberi segala cinta daya upaya karya dan
karsa, tapi aku belum berbuat apa-apa.
…
Dalam kerendahan dan ketiadaanku, aku mengaku ya Tuhan.
Bagian-Mu
lah yang memenuhi kekosonganku agar kiranya kepenuhan-Mu menjadi bagianku.
Berkenankah Kau, Tuhan?
…
Ya Tuhan, raga dan jiwa kiranya aku persembahkan sebagai
bagian yang harus sepenuhnya menjadi kepunyaan Kerajaan-Mu di nirwana.
Tak bolehlah aku meminta-paksa, kupinjam dan kupakai
tanpa maksud dan tujuan yang berguna di dunia, di tempat dimana aku Kau
titipkan, sementara.
Ya Tuhan, ijinkan aku meminjam raga ini sampai batas waktu
yang Kau kehendaki.
Ajarilah aku untuk menggunakan dan merawatnya sedemikian
baik, agar kelak ketika Kau memanggilku pulang, raga ini pun masih dalam
keadaan yang Kau kehendaki.
Ya Tuhan, dalam kelemahan ragawi, kiranya jiwaku tetap hidup
dan menjadi bagian yang paling indah yang bisa kupersembahkan untukMu kini dan
nanti.
Tak ada alasan bagiku lagi untuk tak berucap “terima kasih,
Tuhan”.
Atas segala susah dan senang…
Atas segala keberadaan dan ketiadaan…
Atas segala sehat dan sakit…
Atas segala tawa dan air mata…
Atas segala hidup dan nanti mati…
“Terima kasih, Tuhan.”