Voila! And all of sudden, we become so religious!
- ..
Voila! And all of sudden, we become so religious!
Hm, yah…
Ini cerita hanya seadanya saja
Boleh bilang saya gila atau apa,
Tapi ini cerita saya, seadanya, sebenar-benarnya.
Saya ini seorang yang diam yang hanya berani mengamati dan
mengomentari realita-realita tertentu
Dari balik kacamata minus saya yang tak terlalu tebal ini.
Ya, saya diam dan mengamati sebagai seorang “Ra”.
Bukan dewa atau apa, hanya seorang “Ra”. Manusia biasa.
…
Well…
Kadang saya bingung melihat pola-pola yang diciptakan
manusia
Tertata rapi, tetapi tetap saja kesannya berantakan
Entah ya, begitu pandangan saya
Saya,
ya, saya akui, bukanlah seorang yang demikian fanatik terhadap
keberagamaan saya
saya suka keberagamaan saya, dan saya hidup dalam keberagaman.
Saya beragama, namun yang terpenting bagi saya adalah keber-Tuhan-an saya.
Tetapi, entah kenapa, dan entah berdasarkan standar apa,
Rasa-rasanya saya bukanlah “seorang yang taat”
Yah, segala yang sekuler dan benar-benar duniawi mungkin
melekat pada diri saya
Tetapi saya masih punya keyakinan terhadap Satu-yang lebih
krusial dan esensial -: TUHAN
Pandangan “merendahkan” dan omong kosong yang “meninggikan”
seringkali menjadi kudapan
Kudapan di hari petang, pagi atau malam
Kudapan yang saya comot tiap kali saya mulai merasa muak
dengan segala fanatisme yang dihambur-hamburkan ke udara
Atau langsung dibisikkan ke telinga-telinga
Mereka –yang katanya religius itu- bilang saya ini antipati,
apatis, sinis, sentimen, dan bla bla blah!
Hm… antipati, sentimen, apatis; mungkin ya, tapi tidak
dengan sinis.
Saya tak pernah ada niat untuk menjelekkan sesuatu yang “visual”nya
memang sudah sangat bagus dan rapih, bersih, suci, kudus, dan sebagai-bagainya
itu.
Saya cenderung meragukannya. Hahaha, maaf. (Ups!)
Well, yah…
Seperti kata orang tua saya; “yang banyak tahu itu biasanya
malah banyak lupanya”
Ya, tahu tentang perintah Tuhannya, tetapi juga banyak
lupanya.
Tahu tentang kehendak Tuhannya, tetapi juga banyak
khilafnya.
Saya tidak benar, demikian juga kamu.
Saya salah, demikian juga kamu.
Setahu saya, keselamatan itu anugerah, dan pengampunan itu
juga karunia.
Kita terpilih dan dipilih, bukan memilih.
Sudah terlalu banyak penghakiman-penghakiman dadakan yang manusia ciptakan
Kekhilafan dan kesalahan dengan serta merta membuat “kepongahan
rohani” kita membuncah
Seolah kita semua tak punya catatan hitam
Seolah kita semua tak pernah melalui jalan kelam
Cih!
Boleh mereka bilang ini semua rangkuman dari sebuah
pembenaran.
Tetapi nyatanya bukan demikian, saya tidak sedang membenar-salahkan
apapun dan siapapun.
Saya hanya berkomentar. Tentang apa yang normal dan wajar.
Itu saja.
…
Saya menyaluti ingatan mereka tentang segala jenis ayat dan
pasal-pasal dalam sebuah Kitab Suci
Bahkan ada yang dengan bijaksananya merapalkan kata per kata
ibarat mantera
Sungguh, luar biasa!
Saya jauh dari itu.
Saya tak banyak hafal,
Dan saya tak banyak menggarisbawahi-mewarnai-membatasi-mencatat-mengutip
satu per satu ayat yang saya rasa mengena dalam hati
Saya tak menganggapnya sebagai anestesi
Bius dikala kita merasa sakit dan ringkih dan lemah dan atau
apalah namanya!
Tetapi, saya berkontemplasi
Belajar satu hal dari Tuhan saya yang petunjuk-Nya dirangkum
dalam Kitab Suci agama yang saya yakini: KASIH
…
Atas nama selebrasi dan seremoni dalam sebuah religi
Terkadang kita terlalu mengedepankan visualisasi, tetapi
kerap mengabaikan implementasi dan aplikasi
Sesuatu yang riil, bukan hanya sekedar abstraksi dari sejumput substansi
…
Mereka yang mengklaim dirinya “religius yang rohani sekali”
Dengan mudahnya menjadi tamak dan rakus ketika berurusan
dengan materi
Padahal jelas dikatakan,
Oke, dengan segala keterbatasan, saya mencoba mengutip
surat Ibrani 13 pada ayat ke-5 :
Dikatakan bahwa “janganlah
kamu menjadi hamba uang…”
Lalu, mengapa kita demikian getolnya mengejar materi dan harta
dan mengejar kaya? Jaminan bahagia di hari tua? Untuk memenuhi segala bea -
biaya?
Benar(kah?)
Lagi, perkara yang satu ini memang sedikit menampar saya.
Ingatkah kita ketika Isa lahir ke dunia?
Hei, Dia lahir bukan di hotel berbintang lima,
Bukan di rumah sakit ternama,
Bukan pula di sebuah rumah yang luasnya bak istana.
DIA itu lahirnya di kandang domba! Iya, KANDANG DOMBA!
Tempat yang terlalu hina untuk menampung kelahiran Raja
Semesta.
Lalu, ada apa dengan kita?
Selepas ibadah di gereja, kita yang tadinya bersikap (sok)
religius dengan duduk manis mendengarkan ceramah dan khotbah
Yang tadinya bersikap (sok) suci dan kudus untuk tidak memproduksi dosa dengan mengekang
mulut dan lidah
Mendadak menjadi gila karena benda-benda dunia!
Sikap hedonisme
yang meluap-luap itu tiba-tiba menghampiri
Umpama seorang yang sedang berahi
Kita berkontraksi dan melepas-liarkan energi pada materi
Dengan serta merta kita menjadi binatang-binatang yang haus
akan Prada, Channel, Hermes, dan Gucci
Membuang-buang uang, waktu, tenaga dan energi
Hanya untuk kepuasan diri sendiri
Kepuasan batin yang dipuaskan karena sebuah alasan –yang bagi
saya klise sekali- : menghilangkan jenuh dan tekanan
Saya justru lebih merasa tertekan ketika melihat price-tag yang lengket di benda-benda mahal itu
Wuih…
Untuk bagian ini, mungkin saya akan dikritisi, “Uang itu
uang saya, saya mau beli apa ya terserah saya, kenapa Anda yang sewot?”
Kalau sudah menuai jawaban seperti ini, saya hanya menaruh
rasa empati dan iba: “Kasihan Anda ini, bahagialah ketika ada Prada dan Gucci
di lemari, setelah semuanya terpenuhi, maka Anda kembali lagi pada lingkaran
setan yang tak pernah berhenti. Kebahagiaan yang murah, bisa diukur dari total
tagihan billing yang dikirim ke rumah
setiap bulan.”
Mengapa?
Ya, seperti yang kita tahu… Perancang-perancang di Eropa
sana kan tak pernah berhenti berkreasi dan berinovasi.
Musim berganti, model, bentuk, dan warna berganti. Tetapi tidak
dengan fungsi.
Fungsi, ya toh
akan tetap sama. Apa sih fungsi utama dari tas, baju dan sepatu?
Barangkali saya akan berpikir dan bergiat menabung untuk
membeli, jika suatu hari nanti ada tas yang di dalamnya bisa menyimpan rumah,
yang memudahkan akomodasi saya ketika berpergian ke luar kota.
Siapa tahu… :p
Untuk hedonisme ini, saya hanya teringat pesan Isa dalam Doa
yang diajarkan-Nya, Doa Bapa Kami.
Saya mengutip sepenggal kalimat di dalamnya:
“…berikanlah kami pada hari ini, makanan kami yang SECUKUPNYA…”
Secukupnya lho, s-e-c-u-k-u-p-n-y-a.
Bukan “selebihnya”, “berlebihan”, “sebanyak-banyaknya”, “semahal-mahalnya”.
Saya selalu merasa tersentuh dengan kata “secukupnya” ini.
Ya, pemahaman saya, yang Ia mau agar kita itu jadi orang-orang
yang “tercukupi”, “dicukupi”. Bukan pula “cukup-cukupan” alias “pas-pasan”.
Cukup itu… tidak lebih dan tidak kurang. Balance, gitu.
…
Ya, ini hanya pandangan pribadi dari seorang anak manusia
yang katanya tidak religius dan tidak gerejawi ini.
Dari segala isi Kitab Suci, saya paling ingat kata ini :
KASIH.
Ya, “kasih” itu bisa meliputi segala kebaikan dan sifatnya yang
esensial sekali.
Barangkali kita sudah lupa bagian terpenting ini.
Ketika hanya karena harta kita harus membenci dan memerangi
saudara kita, apa iya kita masih punya KASIH?
Ketika hanya karena ingin memuaskan nafsu hedonis kita, kita harus menghamburkan
uang dan tenaga untuk hal yang tidak primer, sementara di luaran sana ada
banyak anak-anak yang sekolah tanpa kasut, bersekolah dengan plastik kresek
yang membalut buku-buku butut, anak-anak yang tidur di bawah kolong langit tanpa
atap rumah dan tanpa selimut. Apa iya kita masih punya KASIH?
Ketika hanya karena fanatisme yang berlebihan terhadap
religi, kita harus mengorbankan harga diri orang lain dengan memberikan
penghakiman-penghakiman yang egoistis dan menelanjangi dirinya tanpa ampun, dan
mengatasnamakan sebuah justifikasi yang terkesan basi. Apa iya kita masih punya
KASIH?
Apa iya?
…
Saya introspeksi diri saya, demikian juga Anda.
Semoga kita bisa menghidupkan dan menghidupi lagi “kasih”
yang sebenar-benarnya.
Kecintaan terhadap religi itu perlu, tetapi lebih perlu lagi
kecintaan terhadap TUHAN, sumber dari segala kehidupan.
Fanatisme itu tak perlu dipaksakan, fanatisme itu bisa
disimpan di sini, dalam hati.
Bersaksilah pada diri sendiri bahwa kita akan menjadi
manusia-manusia sejati yang tak berniat untuk ber(r)evolusi menjadi binatang
yang tadinya bersimpati, mendadak lalu berang dan saling menyerang.
Berjanjilah pada diri sendiri, dengan apa yang Tuhan
berikan, kita menjadi manusia-manusia yang mulia, dan mempermuliakan Dia, hanya
Dia –Alpha dan Omega- sampai nanti, sampai mati.
Jatinangor, November 19th , 2012.
12:40 AM ; dalam keadaan mabuk kafein dan sekian potong
martabak yang mulai dingin.