Nocturnal Animal




Hei, malam ini aku dan PC-ku saling menatap

Bertegur sapa setiap malam, 
kutegakkan sisi layarnya 90 derajat, berharap setegak itulah aku duduk di kursi dan bersandar dengan punggung yang ditopang oleh tulang belakang

Aku dan PC masih juga saling menatap
Mataku nanar, kosong dan menggamang, entah apa yang aku sedang lakukan

PC pun demikian,
Meski layar putihnya mengisyaratkan keinginan untuk segera dicoreti dengan warna warni, 
dengan kata yang membawa makna, atau syair di setiap sisinya…

Baiklah, baiklah…

a….s…d…f….g…

Hm, apa ya…

Terlalu banyak teori yang aku terima
Terlalu banyak cerita yang aku dengar
Terlalu banyak asumsi yang aku reka
Terlalu banyak omong kosong yang aku cerna
Dan semuanya, menghasilkan “hampa”

Menit ke menit berlalu, jam di sudut kamarku pun mulai mengigau
Menyuarakan denyut detiknya yang seakan berkejaran dengan denyut jantungku
“Hah, mau balapan kamu denganku?Berani kamu?”

Berbeda, tentu saja, Ra.
Si Red Weker hidup karena batu baterai
Si Ra hidup karena Batu Penjuru: Tuhannya
Si weker punya banyak nyawa, tinggal ganti baterai saja
Si Ra hidupnya cuma sekali, jika mati, tak akan terganti

“Weker, sudahlah… jangan mengolok-olokku dengan bunyi ‘tik-tok’mu itu!”

Apa pedulinya, toh dia tak punya telinga…

Tuh, ‘kan? Kamu mulai ngaco Ra!

Ya, wajar sajalah… ini sudah tengah malam, imajinasi menggila, fantasi meliar
Sayangnya, tak ada objek yang bisa dijadikan fantasi, hahaha…

Berfantasi tentang teori, organisasi, metodologi, ideologi, geologi, grafologi, kopekologi, bacotologi, cintologi, atau bahkan astrologi?
Phuh! Sayangnya mereka tak cukup seksi untuk dijadikan fantasi… aku tak merasa horny!

Coba lagi… 

Mandeg!
Bah! Itu bukan fantasi…! Itu isi kepalamu saat ini, isi kepala yang tak terbahasakan dengan baik; benang kusut, karut marut, acak kadut, belalang kadut, ular kadut! 

Dut, Dut, Baduuuuuttt!!!! Pinjamkan aku wajahmu, Dut! 

Biar dunia lihat aku tersenyum, bersembunyi di balik senyum palsu badutmu, memperdaya mereka dengan senyum palsu dan perut buncitmu yang kelihatan berbahagia padahal sebenarnya sengsara!  

Coba lagi…

Stuck! 
Halah, ini sebenarnya apaan sih? Yang bergelayut di kepala kok malah binatang hitam bersayap? Laron bukan? Gagak bukan? Kampret, barangkali?

Preeett! Kampret!

Pinjamkan aku tenagamu, matamu yang bisa menerawang dalam gelap malam untuk mencari mangsa itu! Biar aku bisa memangsa kata dan memamahbiakkannya menjadi untaian berjuta makna dalam rongga kepala dan dada, malam ini… besok juga… lusa boleh… seterusnya juga lah…

Aku tak berselera untuk tidur…


….
Ra, kamu ngelindur Ra!
Daritadi kamu ngapain?
Entah…

"Eeeh! PC-ku, kamu kok tidur duluaaaaan? Katanya kamu mau jadi 2 AM friend-ku? Ih, kamu pengkhianat! Kamu ninggalin aku terjaga sendirian…"

Apa sekalian aku jadikan saja kampret ini masuk dalam daftar kompanion?
Biar aku bisa terus on?

/Jtgr/24.05.12

overlap-ku dan ibu




Overlap-ku dan Ibu*

Dua puluh tahun yang lalu:
Mamak masih kuat, masih gesit, masih semangat, masih segar, masih tangguh, masih fit, masih bisa dengan lincahnya kesana-sini bak wonder woman, masih mau memenuhi semua inginku yang tanpa henti, masih sibuk dengan urusan kantor dan ini dan itu, masih serba bisa, masih mau menemaniku bermain berlama-lama meski dengan terpaksa karena waktu yang amat tersita.

Adek masih kecil, masih ingusan, masih belum tau artinya hidup, masih suka merengek minta dibelikan jajan, masih suka main di pasir dengan celana yang kotor di bagian bokongnya, masih ompong gigi serinya karena kebanyakan makan cokelat, masih lugu, masih innocent, masih bangga dengan rambut ikalnya yang mirip sarang tawon itu, masih bangga dengan pipi tembem-nya yang seperti tomat itu.

Sepuluh  tahun yang lalu:
Mamak masih (juga) sibuk dengan segala urusan kantor dan rumah, masih gesit, masih lincah, masih hafal nama-nama tokoh kartun di TV kesayangan si bungsu, masih ingat kapan waktunya membawa anak-anaknya kontrol gigi, masih ingat kapan harus membantu anak bungsunya menggunting kuku tangan dan kaki, masih ingat kapan waktunya harus membereskan baju seragam putih-merah si bungsu dan seragam putih-birunya si sulung, masih bisa melakukan banyak hal, masih sibuk dengan file-file yang dibawa dari kantor menuju pulang, masih jam terbang tinggi, TETAPI mulai mencereweti banyak hal, mengomentari cara makan anak-anaknya, mulai mengomentari lantai rumah yang kurang bersih disapu, mulai mengomentari keterlambatan pulang anak-anaknya dari sekolah, mulai meributi soal gaya rambut si sulung, mulai mengomentari soal rapor dan nilai, mulai membuat banyak regulasi, mulai mengomentari cara bergaul, dan mulai meributi soal barang-barang tak terpakai yang membuat kamar jadi tak terlihat rapi.

Adek mulai beranjak remaja, masih belum mengerti apa kesibukan Mamak, apa kesibukan Bapak, apa kesibukan Abang, masih saja berpikir ‘cetek’, masih suka menonton Tom & Jerry di televisi,  TETAPI mulai juga suka nonton drama-drama percintaan picisan, mulai mengenal cinta-monyetan, mulai sibuk mengurusi rambut, mulai sibuk memilih-milih kondisioner yang paling bagus, mulai sibuk memilih-milih warna baju yang match ke kulitnya, mulai bertingkah masa bodoh tentang seisi rumahnya, mulai banyak menghabiskan waktu untuk menyendiri, lebih banyak menuntut itu dan ini, mulai sibuk merias-rias diri, mulai mengenal teknologi, mulai banyak memakan biaya untuk sekolah, bimbingan, kursus macam-macam, bahkan biaya untuk perawatan badan.

Tiga tahun terakhir:
Mamak mulai kehilangan kelincahannya, mulai sering merasa nyeri di kaki, lutut, dan tangannya, mulai berpikir keras tentang proyeksi jangka pendek, mulai banyak menguras pikiran untuk macam-macam hal, mulai menurunkan tempo allegro-nya menjadi adagio, mulai melupakan hal-hal yang esensial, mulai tak hafal istilah-istilah asing, mulai tak bisa mengikuti lagi teknologi, mulai sulit mengakomodasikan pupil matanya untuk membaca, mulai merasa lelah jika harus berjalan lama, mulai merasa lelah jika harus bercerita berlama-lama, mulai merasa lelah –katanya karena bobot badan-, mulai menjaga kadar gula dalam darah, mulai mengonsumsi suplemen-suplemen penjaga kondisi badan, mulai menjadi sangat sensitif, mulai sibuk mengurusi dapur rumah (saja), mulai sibuk mengurusi masakan dan makanan yang dirasa kurang bumbu, TETAPI juga semakin peduli (bahkan terlalu, barangkali) kepada orang lain, mulai meningkatkan proteksi,  mulai merasa perlu untuk menggeluti peradatan, mulai mendekatkan diri (lebih lagi) pada Tuhan, dan masih sering mengkritisi hal-hal yang detail sekalipun.

Adek sudah dewasa*, umurnya sekarang sudah kepala dua, mulai sibuk mengejar cita-cita, mulai belajar tentang cinta (meski harus jatuh, bangkit, dan jatuh lagi karenanya), mulai banyak mengadopsi istilah-istilah asing, mulai memperluas wawasan, mulai peduli soal kesehatan, mulai menyibukkan diri dengan kesibukannya sendiri, mulai berpikir keras tentang hidupdan segala proyeksi masa depan, mulai meningkatkan kualitas diri, mulai mengesampingkan pikiran-pikiran yang kekanak-kanakan, mulai bisa mnegendalikan emosi, mulai berpikir lebih kritis lagi, mulai memahami-terus berusaha memahami- tentang arti hidup yang sesungguhnya, mulai memahami bahwa DIA TAK LAGI PUNYA BANYAK WAKTU!

Aku dan Ibu* selalu overlap tentang waktu. Saat aku bertumbuh, Ibu tak selalu ada di sampingku, tak selalu meninabobokkan aku, peran Ibu digantikan nenek yang rela mengurusi karena ibu yang sibuk bekerja dengan alasan-alasan tertentu, dan aku berusaha untuk memahami itu. Dan di saat aku beranjak dewasa, Ibu yang lebih luang waktu mulai kehilangan aku. Sekarang, yang aku sadari adalah bahwa aku memang tak lagi punya banyak waktu.
Mungkin setiap lipatan dalam kerutan wajahmu adalah waktuku yang terbuang percuma, tapi bagimu setiap lipatan dalam kerutan adalah perjuangan, dan aku sekarang mulai paham. Segalanya untuk anak: itulah Ibu.
Dalam ruang dan waktu yang masih bersisa ini, ingin aku balikkan keadaan bahwa ‘segalanya untuk ibu’, itu mauku. Semoga Sang Maha masih memberi masa untuk aku bisa melakukan segala yang terbaik buat Ibu. Alasan aku hidup dan bertahan adalah Ibu, sama seperti Ibu yang menjadikanku alasan untuk tetap berjuang sampai akhir, sampai pada masa semua rambutmu mulai memutih, anak-anak selalu jadi alasanmu untuk tetap bertahan dan berjuang. Aku pun demikian. 

Melihatmu mulai kepayahan saat harus turun dan menaiki tangga, aku merasa sesak di rongga dada.
Melihatmu mulai kesulitan membacakan tanggal kadaluarsa di bungkus roti, aku merasa hancur hati.
Mendengarmu mulai sering mengeluhkan rasa nyeri di pinggang, aku merasa ingin terbang menuju pulang.
Mendengarmu mulai pusing karena beban ini dan itu, aku merasa semakin hancur dengan sebongkah rasa rindu.
Melihatmu mulai sering tertidur mendadak di depan televisi, membuatku menjadi ingin lebih introspeksi.
Melihatmu mulai mengkonsumsi bermacam obat untuk tetap menjaga sehat, membuat aku semakin ingin tetap merasa dekat.
Membuatku ingin semakin cepat mengakhiri masa yang berlaku sekarang ini, menyelesaikan tanggung jawab pribadi dan menghadiahkan Senyum yang Abadi.

Maka bergegaslah, Ra!