Teh manis panas di hari yg panas...





Jadi ceritanya, saya sudah hampir 6 bulan (sejak tesis-yang dengan susah payah akhirnya- selesai juga) tidak menulis sesuatu yang non-ilmiah. 
Entahlah, sulit lagi rasanya untuk memulai sesuatu yang sudah lama tak dikerjakan, meskipun itu adalah hobi, tapi kehilangan selera karena sudah dibiaskan dan dibiasakan untuk terus serius membaca dan memikirkan hal-hal ilmiah, akhirnya kreativitas dan mood untuk menulis ambyar, ludes, des, des, ditelan teori-teori linguistik. 

Well… tapi jika memang ada kemauan, ini pun harus dipatahkan, bak kata Chaedar A. “Pokoknya Menulis!”, ini juga yang menohok saya… Kok patah semangat, mulai saja belum, kenapa malah berhenti?

Oke, saya coba untuk menulis lagi.Kali ini non-ilmiah lah...
***

Satu pagi di bulan Agustus, di tahun 2009… 
Hari itu menyelip di antara tanggal-tanggal di almanak bulan delapan, tak ada yang khusus, tak ada yang spesial, tak ada yang istimewa, semua terasa biasa, terasa rutin dan sederhana. 

Langkah terburu dengan irama tak beraturan mengantarkan aku menuju kampus pagi itu. 
Ya, seperti biasa, kuliah akan dimulai pukul delapan pagi. 
Katanya sih, “delapan Teng!”, nah lho… sementara aku masih berburu jalan setapak menyusuri kepadatan motor-motor berseliweran juga diselingi sepeda, becak bermotor, dan puluhan mahasiswa lainnya yang juga berkasus sama: Nyaris Telat.

Aku, entah kenapa di penghujung masa kuliah S1 cukup mencetak rekor di dunia keterlambatan kehadiran di kampus untuk kuliah pagi, bahkan tak jarang nilai kehadiranku selalu di”minus satu”kan oleh dosen yang mengampu mata kuliah pertama di pukul 08:00 WIB. 
Tak masalah, mungkin karena sudah (di)biasa(kan)?
Kelonggaran soal waktu pagi itu aku terima, mungkin, ya, seingatku memang bulan itu adalah bulan puasa, jadi wajar saja kalau ada kelonggaran sedikit, sayangnya aku tak bertanggung jawab, memanfaatkan situasi itu, hahaha, tak patut ditiru.

Jam demi jam berlalu, dua mata kuliah selesai. Karena tak ada aktivitas lain, akhirnya aku mengiyakan mengikut temanku nongkrong di kampus saja sebentar…
***
Dev (teman di S1) ini pernah berkelakar soal temannya di masa SD, katanya “Aku punya teman, iya, dulu si Vic itu, anaknya paling rapi, paling bersih di antara teman-teman lain yang ada di kelasku… Yang lain pada gadel, pada buluk, tapi dia berbeda, …”
Cerita itu panjang, kesudahannya membuat aku tertarik, “Apa iya masih ada laki-laki macam itu di dunia antah berantah ini?” telisikku dalam hati. 

Tawarannya untuk berkenalan dengan teman lamanya semasa SD itu aku terima, kenapa?

Entah.

Aku terbilang unik, karena mendengar cerita temanku ini, aku jadi tertarik. Teman SDnya itu orang yang seperti apa, pikirku… aku penasaran.


Kebetulan hari itu, Vic berkunjung ke kampus kami, hanya sekedar untuk say hi ke temanku Dev, barangkali untuk refreshing juga dari kondisi monoton di kotanya, yang juga sedang mumet-mumetnya membereskan skripsi (waktu itu kita sama-sama kuliah di semester penghabisan). 
Wajar sajalah, pikirku. Ini sih seperti kunjungan teman lama biasa. 
Tunggu… Tapi, apa mungkin ada sesuatu yang spesial ya antara dia dan temannya itu? Entah, aku pun ingin tahu tapi menolak untuk mencari tahu.  

Singkat cerita dia datang dan kami menjanjikan untuk bertemu di depan gedung H (Gedung Prodi Sejarah) di FIB itu. 

Melihat Dev, dia tersenyum, mengulurkan tangan dan bersalaman sambil bercengkerama tentang kehidupan sekolah dasarnya di kampung mereka. 
Aku waktu itu memilih diam, mengamati, dan biasa saja menanggapi obrolan mereka. Tak ada yang khas.

Tak berapa lama, Dev memperkenalkan aku, “Ini Ra, yang dulu aku pernah ceritakan,” katanya. 
Dengan ekspresi tanggap cepat aku menyambut jabat tangannya “Oh, ya, ya, Dev banyak cerita tentangmu…,” timpalku. 

Dia mengernyit bingung, “Banyak cerita? Dev, cerita apa aja???” 

Hahaha, barangkali dia takut ada cerita yang terpeleset yang sampai ke telinga? Biasa sajalah, tak ada yang salah kok.

***
Mulai lapar.
Waktu itu segala rumah makan dan kafetaria tutup (karena  bulan puasa), tapi kebetulan, ada satu yang (setengah) buka. Kami memutuskan untuk setidaknya minum di sana.
(Biasa. Biasa sekali.)

“Dua es teh ya Bang!” katanya memesan ke penjaga kantin. 

Kenapa es teh? 

Ya jelas, karena hari itu memang super panas dan terik, apalagi Medan memang akhir-akhir ini memanas sekali suhunya, entah karena kebocoran ozon atau karena waktu itu lagi musimnya Pilkada.

“Satu teh manis panas ya Bang,” giliranku memesan.

Raut muka yang menyiratkan kebingungan muncul di wajahnya. 

Aku tahu persis, apa yang dipertanyakannya dalam hati :”Kenapa di hari sepanas ini, dia malah pesan minuman yang panas?”

Simpan itu dalam hatimu, pikirku. Nanti kau pasti temu jawabannya.

Sejam mengobrol sambil menghabiskan minuman, kami kemudian berpisah.
Mereka memutuskan untuk pergi lagi ke lain tempat, shopping atau bertemu teman lain barangkali, dan aku memutuskan untuk pulang, makan, lalu tidur siang.

***
Lalu? Apa yang spesial?
Tak ada.

Sampai dia memutuskan untuk mengalahkan rasa penasarannya tentangku, dan aku memutuskan untuk menerima tantangan tentang penasaran itu.
Lalu,
Siapa yang menyuruhmu, memberanikan diirmu untuk meminta nomor ponselku malam itu? Entah.

Siapa yang membuatku menerima pertanyaanmu dan menjawabnya dengan balasan pesan singkat malam menjelang subuh itu? Entah.

Apa yang membuatmu penasaran dengan pesananku di kantin (si teh manis panas) itu? 

Kenapa kau ingin tahu kenapa aku memesan itu?

Bagaimana kau bisa menebak isi kepalaku yang juga penasaran tentangmu? Entah.

Siapa yang menduga kita bertemu di hari yang biasa, dengan situasi dan suasana yang juga biasa, akhirnya membawa kita kepada sesuatu yang luar biasa dan sangat tidak biasa? Entah.

Siapa yang menduga segala yang sudah terjabarkan lewat berbagai cara, surat dan sirat, membuat kita semakin sadar bahwa ini bukan sesuatu yang mudah?

Siapa yang menduga pada akhirnya kita memutuskan untuk membawa perasaan kepada sesuatu yang lebih dalam? Entah.

Siapa yang bisa menduga, kita, yang masing-masing adalah pemikir dan pendiam, bisa bersama-sama menyelesaikan masalah dan konflik dalam bahasa yang santun dan penuh etika? Entah. 

Siapa yang bisa menduga, akhirnya kau dan aku memutuskan untuk bertemu, sekedar bertegur sapa, dan kemudian akhirnya menyatakan pada semesta bahwa “Ya, dialah orangnya”? Entah.

Segala tanya itu, segala entah itu, akhirnya kurangkum dalam sebuah tulisan yang terkesan klise.
Tuhan, lewat semesta ciptaan-Nya ini, memang paling bisa mencari cara untuk mempertemukan partikel-partikel yang tarik menarik, barangkali?

Katanya, hati akan terus mengembara kemana dia ingin mengembara, hanya untuk menemukan getaran yang sama dengannya. 
Lucu. 
Segala yang terjadi aku yakini sebagai master plan Sang Maha.
Semesta memang tak pernah bisa ditebak, apa maunya, apa hendaknya, tak bisa diketahui pasti.
Demikianlah, kita.

Lima tahun sudah menyusuri segala garis-garis tanda tanya dan tanda-tanda lainnya. 
Berusaha merangkai cerita di dalam jarak spasial yang membentang.
Tak habis pikir aku, keputusan berat ini diambil dengan begitu beraninya. 
Jarak, bagi kita seolah perkara biasa yang bisa diselesaikan oleh komitmen dan keyakinan.
Itulah kita.

Unikmu memang menjadi pemantik rasa ingin tahuku.
Unikku memang menjadi pemantik rasa ingin tahumu.
Kita unik. Kita berbeda.

Ya. terima kasih Semesta, terima kasih Sang Maha.
Jutaan manusia di luar sana, ada berapa yang dipertemukan dalam skenario yang sepertinya sebuah kebetulan namun bukan kebetulan?
Tentu ada. Banyak, barangkali.
Dan kami adalah satu di antaranya.

Note:
Setelah mengenal aku selama 5 tahun, akhirnya dia jujur tentang pesananku di kantin waktu itu, dalam hati dia berpikir “Kenapa tua sekali pesanan cewek semuda ini? Pesan teh manis panas di hari yang panas, cocoknya adalah pesanan yang diminta Bapak-Bapak paruh baya, atau Oppung-Oppung*  berusia senja.”
"Sialan!", pikirku.

Hahaha.
Setelah aku ceritakan alasannya, dia bisa terima. Iya, aku terpaksa menebalkan muka, semua demi kesehatan badan.

***
Lima tahun yang tak mudah sudah kita lalui, dua tahun yang mempertegas keadaan ini pun sudah kita nikmati dalam segala pasang surutnya… 
Yakin dan pasti, tahun-tahun di masa yang akan datang pun akan teratasi dengan senjata pamungkas kita: komitmen akan cinta kasih dan keyakinan.
Semoga akan ada tahun-tahun mendatang untuk kita ya, Meine Liebe.
Happy 2nd Anniversary of Our Official Relationship, :p
Memperingati 23 Agustus 2012-23 Agustus 2014.
(maaf baru kasih tulisan flashback, baru ada mood lagi untuk nulis, Bang.) :D




BAHASA



Cukupkanlah diri ini, agar tak lagi meminta hal yang tak mungkin kau berikan.
Segala numerik dan formula yang memadat-sesakkan isi kepala, mungkin tak akan menjelma menjadi diriku dalam imajimu,
Namun, aku tetaplah aku...
Seseorang yang kau kenal tanpa perlu membuat kalkulasi dan perhitungan dalam angka,
Karena aku hanya butuh bahasa dalam rupa kata sebagai rahim yang melahirkan makna.
Bahasa yang meluluhlantakkan segala tanda tanya,
dalam sekat-sekat perbedaan yang kadang mengerucut menjadi kemarahan,
Bahasa yang meniadakan segala keraguan,
dalam celah-celah ketidakpastian kehidupan.


12:15 AM
Wed, 6.11.14

Lampu jalan. Lampu taman.



Pic source: http://distilleryimage10.s3.amazonaws.com
Lampu taman, Lampu jalan
Lampu-lampu taman
Lampu-lampu jalan
Menyala ketika senja tiba
Menyala ketika malam mulai menyapa

Lampu jalan, lampu taman
Menjadi saksi-saksi dalam kebisuan
Tentang hari ini, tentang segala macam kisah kehidupan



Tentang pedagang rokok yang menjajakkan rokok batangan dengan harga ketengan
Berharap orang-orang mampir untuk menyulut api padasebatang-dua batang tembakau lintingan
Untuk sekedar menyisipkan pilu di tiap bakaran
Untuk sekedar menuangkan luka di tiap embusan
Untuk sekedar menumbuhkan perasaan nyaman
Untuk menjadi lega karena asap yang mengepul dalam rongga dada
Menyesakkan, namun entah mengapa tetap menyenangkan
Katanya...

Tentang pedagang asongan yang menawarkan aneka jajanan
Yang mulai menyiapkan keranjang berpenutup kain sebagaiwadah penyimpan
Barang dagangan yang hari ini tak juga kunjung terjual,karena langit berawan atau hujan atau macam-macam alasan
Menumpuk rapi bungkus-bungkus plastik bening dan berwarnamenarik dalam kemasan
Dengan rona yang kusam dan masam karena hanya mengantongirupiah senilai lima atau sepuluh-ribuan

Tentang wajah-wajah lelah orang kantoran
Yang kusut masai karena hari ini dikejar oleh deadline pekerjaan
Yang harinya semakin dikacaukan oleh kemarahan dan kemurkaanpejabat dan atasan
Menyudutkan, memojokkan jongos-jongosnya karena berbagaimacam kesalahan

Tentang langkah lunglai anak-anak sekolahan
Yang siang tadi masih sanggup dan bertenaga untuk berlarian
Lalu ketika senja datang menyapa mulai menyurutkan nyalasemangat mudanya
Karena sejuta tanya yang tiada pernah terjawab lebih dinitentang hari esok atau lusa
Atau karena padatnya jadwal ujian dan tugas-tugas harian
atau  mungkin karena cerita cinta masa muda yang katanya masih berupa roman picisan
Atau malah keduanya...

Tentang tangan-tangan hangat yang erat bergandengan
Sebagai satu atau dua pasangan yang melintas dan duduk dibangku taman
Berbicara tentang harapan dan bualan tentang masa depan
Di bola mata mereka terpancar bara api cinta yang sepertitak pernah terpadamkan
Sedang di sudut lain taman membuncahlah sebuah kemarahan
Terlontarkan ke udara lewat nyaringnya suara tangisanpenyesalan
Mencaci, menggerutu, cemberut, menghanyut dalam kemuraman
Karena sudah habislah segala cerita masa kini dan masa depanyang katanya akan melukiskan kebahagiaan
Berakhirlah di malam ini, di antara derit gerobak usang pemulungdan bunyi riuh jangkrik bersimfoni di udara
Ya, ternyata tak lagi ada cinta di sana
Katanya

Tentang kupu-kupu malam yang bersandar di tembok-tembok kota yang dingin
Tersapu oleh angin malam yang menusuk sampai ke persendian
Berharap satu atau dua pengendara singgah untuk sekedar bertegur-sapa atau bahkan meminta kenyamanan yang siap segera akan disajikan
Dalam balutan aroma dan geliat yang tak bisa dilukiskan
Karena kata-kata terlalu sederhana untuk mewakili rasa nyaman yang meluap-luap di setiap regukan kenikmatan

Tentang laron-laron yang sejenak kegirangan
Tak mau kalah dengan mereka-mereka yang larut dalam geliat malam
Menyambut datangnya temaram lampu-lampu jalan danlampu-lampu taman
Lincah beterbangan dan berhamburan karena binar lampu-lampu dinikmatinya dalam kekaguman
Untuk kemudian patahlah sayapnya dan kembali mendaratkandiri ke bumi
Menunggu datangnya petugas kebersihan yang mengayunkan sapulidinyakian kemari
Membersihkan puing-puing sayap dan tubuh laron ke dalampengki
Hingga sempurnalah warna dan wajah bersih kota di pagi hari

Lampu padam

Terang matahari datang menggantikan

Lampu padam

Deru dan gebu kota mulai meneriakkan segala kegalauan dankeriuhan
Bisingnya knalpot kendaraan, bus dan angkutan yang saling berkejaran
Kota dan manusia dalam denyut yang saling beriringan
Berbaur dan bercampur, menjadi satu sisi lain kehidupan

Ya, karena siang dan malam selalu datang bergantian

Demikianlah
Lampu-lampu taman padam.
Lampu-lampu jalan padam.
Nyala merah matahari datang menggantikan
Hari ini, kira-kira apa lagi gerangan…


*Singgahlah catatan ini dalam kepala ketika berjalanmenyusuri trotoar kampus menuju kosan. Diiringi alunanlembut “Streetlights”nya Josh Rouse yang mendayu dan merayu. Manis dan inspiratif. Memaksa sisi melankolis untuk keluar dan meretas menjadi sebuah catatan singkat. :)

Rabu berawan.
Tahun 2014,bulan pertama, hari kedelapan.
-Ra-


Seloyang pizza, Sejuta cerita





Seloyang pizza, Sejuta cerita



Mendung. Dan hari itu berhujan.


Cuaca mendung memang paling sering membuat perut, ah, mulut lebih tepatnya, jadi lebih berbahaya dan rakus dibanding pada hari dengan cuaca-cuaca cerah yang bertemperatur normal dan biasa.


Ya, hari itu aku benar-benar merasa ingin sekali makan Pizza. Pasti kalian bertanya-tanya, kalau memang ingin, kenapa tak segera dibeli saja? Atau mudahnya, sekarang ‘kan ada carcep (cara cepat) via delivery order, tinggal pencet tombol tilpun, lalu Pizza Boy pun akan datang mengantarkan ke tujuan.


Masalahnya adalah, meski ingin, namun apa daya Pizza Boy tak akan sanggup mengantarkan seloyang pizza ke perkampungan kecil macam ini. 


Begitulah, di kecamatan mini ini tak ada satu pun café atau resto yang sedia pizza enak seperti di kota-kota besar lainnya di Indonesia. Miris. 


Hah! Lupakan… 


Ya, kualihkan hasrat terpendam dan rasa ngidam pizza itu kepada cemilan lain bernama ‘risoles’. 

Memang siiih, keduanya sama-sama berbahan dasar tepung, tapi agaknya risoles ini lebih melempem daripada pizza, bentuknya juga agak abstrak nan absurd begitu… tapi sudahlah, yang namanya lapar daun singkong dikasih mayonnaise juga rasanya udah kayak salad di lidah (terpaksa).


***

Tentang pizza dan kita


Waktu itu dia berkunjung ke kotaku, semasa aku liburan kami memutuskan untuk mengatur pertemuan yang keduaribuduaratusduapuluh kalinya… (lebay! Pertemuan waktu itu adalah pertemuan ketiga kalinya), ya, harap maklum, itulah sulitnya kalau menjalani LDR-LDR-an macam ini, serba susah untuk ketemuan. 

Doski sibuk cari makan, eike sibuk cari masalah. 
Jadi kalo keduanya digabungkan kami memang sedang sibuk ‘makan masalah’ atau sedang sibuk ‘mempermasalahkan makanan’? :p whatever…


Hari dimana kami memutuskan untuk ‘nge-mal’ ([n] mal;sekumpulan gedung berisikan macam-macam toko di dalamnya, [v] ngemal; ‘melakukan aktivitas berputar-putar di mal tanpa tujuan dan arah yang jelas dan pasti (apaasssiiiiihhh…)). 


Ya, kami memutuskan berjalan-jalan di mal sambil melakukan belanja-jendela (window shopping.red) ke sana kemari. Hari sebelumnya memang kami puas menjajal eksotika air terjun dengan telaga biru-beningnya di daerah pegunungan sana, jadi ya, tak masalah jika hari ini mengagendakan pelesiran singkat padat merayap di gedung bertingkat. 


Setelah penat, rasa dahaga muncul di pangkal tenggorok, pertanda kami harus menenggak satu atau dua gelas air atau sejenisnya untuk mengusir dahaga itu. 
Plus, perut pun sudah memulai aksi demo dengan membuat kegaduhan dan mulai dangdutan di sana sini. Oke, ini pertanda kami harus segera menemukan tempat untuk bertengger dan menyantap penganan dan minuman yang mengenyangkan dan menyegarkan. 


Setelah melihat-lihat, café, resto, warung, kios, kantin, foodcourt, rasanya kenapa tak ada ya yang menggugah selera?

Malas rasanya kalau harus makan yang itu-itu saja, maklum, menu umum yang tersaji di republik ini kebanyakan didominasi oleh nasi dan ayam-ayaman.

As we know, makanan pokok kita ‘kan memang nasi. Sedang kami, di perantauan, kami sudah jenuh dan bosan makan menu dengan formula 3T + 1A (tahu, tempe, telur & ayam).  

Lihat betapa kami bosannya?

Hampir semua yang berkaitan dengan ayam sudah kami makan. Telur (asal muasal ayam), lalu kemudian ayam itu sendiri pun kami makan, jika keduanya sudah dimakan, lalu apa lagi yang kurang selain sisanya hanyalah kandang.

Alternatif lain ada, “ikan”. Tapi sulit menemukan menu ‘ikan-ikanan’ di mal macam ini, takutnya sih ikannya kurang segar, ngga tahu harus mencari dimana, takut membuang waktu juga. 


Akhirnya kami memutuskan untuk makan di Pizza Huh* (*no promotion here, plis…) yang ternyata dipenuhi bejubel manusia yang datang entah darimana (memang hari itu banyak sekali orang, tapi kenapa harus semuanya menumpuk makan di Pizza Huh ya???) 


Menu disodorkan. 


Waitress yang ramah dengan senyum cerah menawarkan beberapa menu yang katanya lagi program promo. (padahal sekarang ini yang lagi nge-trend kan program diet?)


“Ini menunya, Kak, Bang. Kita bulan ini lagi ada promo menu paket… dan Bla bla bla… (aku tak ingat lagi dia ngomong apa, dia bicara hampir sama cepatnya dengan kecepatan cahaya :p) 


Siplah. Kami membuat pilihan. 


Ya, seloyang pizza “American favorite” ukuran Medium yang dianggap lebih fresh dan cukup mengenyangkan ngga akan bikin perut eneg karena komposisinya lebih variatif dan potongannya ngga akan kurang ngga akan lebih. 
Ukuran M memang pas dibagi berdua (apalagi bagi kami yang waktu itu seperti singa kelaparan, pasti dikupas tuntas pizza seukuran itu). 


Oh iya, itulah sebabnya kenapa aku jarang sekali makan pizza kalau hanya sendirian. 
Sulit mengukur kadar kemampuan konsumsiku,  ukuran Small memang cukup, tapi aku tak terlalu suka makan yang ukuran mini begitu karena topping pizzanya cuma sedikit dan ketebalan rotinya hampir sama tebalnya dengan roti bantal kodian, tak terlalu enak. (Ini dia konsumen yang ngga mau rugi, terlalu itung-itungan)



Setelah menulis pesanan, kemudian dilanjutkan dengan sebuah penantian, karena orderan sudah dalam daftar, ya kesabaran harus diuji sejenak. Untunglah tak lama kemudian pesanan pun datang.


***

Santapan mini, Obrolan maxi


http://junkfoodnews.net/wordpress
Sambil membagi seloyang pizza dengan pisau (lebih mirip spatula sih, itu namanya apa ya??)  dan kemudian dia meletakkan sepotong irisan pizza berbentuk semi-segitiga sama kaki ke atas piringku. Lalu dia melakukan hal yang sama untuk dirinya sendiri, hihihi… (what a gentle..)


Kami pun mulai dengan ritual pertama: menuangkan saus dan sambal ke atas pizza. 

Sambil mengunyah, sambil mengiris, sambil menyeruput minuman segar, semua dilakukan dalam serangkaian aktivitas makan siang yang menyenangkan itu. 


Dia pun memulai pembicaraan, dan aku  tekun mendengarkan. 


Sambil mengunyah pelan-pelan, aku memaksimalkan fungsi tiga penginderaan sekaligus waktu itu: telinga yang baik untuk mendengarkan suaranya di antara kegaduhan dan riuh-rendah obrolan orang-orang di sekitar, lidah yang tajam untuk mengecap rasa nikmat dari setiap kunyahan pizza di dalam mulut, dan mata yang terus memperhatikan dia yang sedang berbicara di hadapanku (we gotta keep that eye-contact anyway


Aku senang. 


Barangkali ada benarnya ya, di meja makan setiap orang akan menjadi lebih terbuka dalam bercerita, mungkin karena pada saat makan kita akan menjadi lebih santai sambil menikmati tiap rasa nikmat yang dihadirkan oleh irisan demi irisan makanan. 


Dia berbicara banyak waktu itu. Tentang macam-macam hal seputar hidupnya. Tentang kesenangannya, kesulitannya, kekesalannya, kegelisahannya, dan banyak lagi.


Dan aku sedang dan senang mendengarkan.


Tak disangka, aku yang asyik melumat potongan pizza dalam mulut sudah menuangkan terlalu banyak saos di atas pizzaku.Tak bisa meng-undo tuangan saos itu, aku terpaksa melahap segalanya dengan penuh percaya diri. Dan...

Jelas bisa ditebak apa yang kemudian terjadi, kan? (*__*)

Ya, tak berapa lama berselang perutku yang ringkih ini mulai berontak. 
Kebanyakan diisi saos ya begini ini jadinya, mules. Hahaha… (Sumpah, waktu itu rasa maluku lebih besar daripada rasa mulesku, Bang. :p)


Ya, demikianlah. Singkat cerita, semuanya berakhir bahagia. (Sengaja tak mengekspos hal yang tak patut, hehehe)



***

Di antara rasa ingin makan pizza dan rasa rindu untuk makan bersamamu


Itu… barangkali memang baru dua-tiga bulan yang lalu, bukan? 


Entah, tapi rasanya tiap kali melihat pizza, rasa inginku muncul. Ngidam makan pizza, tapi aku juga tak ingin makan sendirian.

Aku ingin makan bersama, selain untuk menghindari ukuran pizza yang kekecilan (penting ngga sih?) tapi di atas semua itu, ingatan tentang kebersamaan denganmu waktu itu adalah sebuah kebahagiaan. 


Ya, kau telah berhasil mengingatkan betapa pizza itu lezat dan lebih lezat lagi kalau dimakan bersama-sama denganmu, begitu barangkali?


Yang jelas, kalau di kemudian hari kita menyantap pizza lagi, tolong ingatkan aku untuk tak dengan keranjingannya menuangkan saos di atas pizzaku ya? lambungku tak kuat menanggung beban seberat itu…  Haaiiyaaahh!


Begitulah.


Pizza dan kamu, memang sama-sama membuat rindu.  

Bedanya, pizza tak akan dinikmati jika dimakan sendirian  tanpa kehadiranmu, namun aku akan sangat menikmati keberadaanmu meski tanpa kehadiran pizza sekalipun.



-End-

Sabtu pertama di minggu pertama dan bulan pertama tahun baru, yang sudah kesekian kali dan kesekian kalinya kulewatkan tanpamu.

04.01.2014.