Hei, hampir dua pekan lebih aku berhenti menulis.
Mungkin bisa dikatakan, aku ini sibuk?
Raga tak kemana-mana, diam di sini, di tempat aku mengetak-ngetikkan jari jemari di papan-papan berhuruf ini...
Ragaku diam, tetapi pikiranku sudah berkelana jauh entah kemana.

Oh, Tuhan.

Perasaanku aku tak melakukan apapun kecuali kewajiban-kewajiban yang harus segera dituntaskan-akademik-
Namun pada kenyataannya, pikiran memang dengan angkuhnya mampu membawa raga larut dalam rasa lelah yang mencampuradukkan segala rasa, segala kata dan bahasa.

Aku yang berharap lebih tentang manusia, dan aku yang selalu kecewa karena manusia, dan aku sendiri dengan bodohnya menyadari bahwa aku pun manusia, yang selalu menumbuh-kembangkan harapan-harapan yang klise tentang manusia dan tirani egonya. Entahlah, manusia. 

Diary-ku kosong
Terlalu banyak rasa kesal dan kecewa yang ingin kutuangkan di sana, tetapi aku tak tega.
Mengisi lembar demi lembar dengan rasa marah dan amarah, bertegang urat hanya karena manusia.
Oh, manusia.

Diary-ku bersih
Terlalu banyak rasa perih dan rasa pahit yang ingin kucampur bersama kata demi kata di setiap alinea,
tetapi aku tak sanggup, karya tak seharusnya menjadi kambinghitam atas sebuah emosi yang terlalu meluap-luap dari penulisnya.

Ah... memuakkan!

Aku menulis karena aku harus. Itu kataku,
Kenapa, Ra?

Sederhana. 
Aku tak bisa mengingat macam segala rupa, yang aku tahu, aku punya satu cara untuk mengabadikannya dalam sejarah ingatan dan impian: menulis.

Tetapi lagi, 
aku rasa-rasanya terlalu lelah untuk menulis di antara segala keluh kesah.
Aku ingin berhenti.... (?)

Jangan, Ra.
Berhenti menulis berarti berhenti menjadi dirimu, Ra.

Mungkin saat ini tak banyak yang bisa kau sentuh lewat tulisan-tulisan konyol dan picisanmu,
tetapi kau harus tetap menulis, Ra.

Tak ada yang berhak mencegah dirimu untuk menjadi dirimu, Ra.
Jika lelah, istirahatlah. Tapi jangan berhenti, karena sekali kau berhenti menulis, kau berhenti menjadi manusia.
Kau perlahan-lahan akan berubah menjadi mayat hidup yang tinggal hidup saja,
hidup untuk menunggu mati. apa itu mamumu?

Tentu tidak, kan?

Maka, teruslah...
Menulislah...
Berkaryalah...


"Baiklah. Tapi aku butuh istirahat sejenak. Peristirahatan sementara, di antara rongga-rongga udara dalam dada, aku beristirahat sejenak."