Hari ini aku membaca sebuah blog yang isinya menarasikan kisah seorang pria yang kehilangan istrinya karena kanker payudara.
Mengabadikannya dalam rangkaian foto-foto hitam putih, semua tersaji demikian sempurna
Tepat pada tempatnya, sesuai porsinya…

Sampailah aku di tiga foto terakhir…

Foto pertama…
Foto perempuan yang kelihatan kesakitan itu berbaring di atas tempat tidur dengan segala perangkat medis di kiri dan kanan tempat tidurnya,
Selimut bergulung di antara kakinya,
Buku-buku berserakan di samping kiri bantalnya.
Yang aku lihat bukan hanya semburat rasa ngilu yang terpancar dari wajah perempuan itu saja,
Aku sekaligus merasa ada rasa nyaman di dalam hati, ketika melihat dan mengetahui bahwa masih ada seseorang yang kita cintai terbaring-tentu saja, terbaring dan tertidur pulas-di atas tempat tidurnya.

Foto kedua…
Foto sebuah ranjang, bekas perempuan yang kesakitan itu dulunya terbaring lemah dan tak berdaya, kini tak ada lagi siapa pun di sana.
Ranjang itu kaku… klimis… rapi… tak ada lipatan apa-apa di seprainya. Pertanda bahwa, orang yang kita cintai tak lagi ada dan tak lagi bisa kita nikmati wajah tidurnya.

Foto terakhir…


Foto sebuah nisan bertuliskan nama perempuan itu dan dengan sepenggal kalimat kesukaannya semasa hidup “I LOVE IT ALL”.


Ya… dia menikmati sekali tiap hembusan nafas yang pernah ditiupkannya dari rongga nafasnya ketika hidup… dan dia bersyukur atas semuanya, dan mencintai setiap inchi kisah hidupnya.
***

Tentang ranjang

Pada suatu pagi…

Membuka pintu kamarnya perlahan-lahan, takut dia yang kita kasihi terbangun karena suara derit engsel-engsel pintu kamarnya
Mengintip dari celah tiga senti pintu yang sengaja kita buka,
Hanya untuk memastikan dia masih ada dan tidur dengan pulasnya di sana, 
di atas ranjangnya

Ya, ranjang itu berantakan
Pagi itu aku kembali membereskan dan merapikan tiap-tiap sisi seprai yang terlipat karena gerak-gerik tangan dan kaki orang yang tidur di atasnya.
Tadi malam, barangkali
Dia berkelana dalam mimpi-mimpi yang membuatnya merasa ngeri, atau justru sebaliknya…
Bermimpi berlari-lari di antara pasir putih tepi pantai…
Di antara jam tidurnya, sesekali kudengar suara beratnya berdehem
Suara berat yang keluar dari pita suara yang sudah aus

Entahlah, aku tak terlalu peduli…
Yang jelas aku merapikan ranjang itu dengan rasa syukur yang teramat sangat kepada Tuhanku
Masih bisa kubuat indah lagi tempat berbaring orang yang kusayangi
Masih bisa kutata lagi tiap-tiap sudut ranjang yang hangat itu
Masih bisa kurasakan ada kehidupan di tiap lipatan seprai di atas ranjang itu, dulu…

Sambil berucap “Selamat pagi, bagaimana tidurmu tadi malam, *Pung?”
Aku bersyukur karena dia ada
Aku bersyukur dia bisa tidur dengan lelapnya
Aku bersyukur untuk kehidupan yang dihidupinya

Mengajaknya untuk duduk sejenak, lalu melipatkan tangannya yang penuh kerutan
“Kita doa pagi ya, Pung”, ujarku waktu itu
Aku mulai merapalkan doa-doa syukur atas nafas dan oksigen bebas biaya yang kami nikmati hari ini
Doa-doa permohonan untuk kesehatan dan kekuatan bagi dia yang kami sayangi
Doa-doa permintaan maaf karena masih belum bisa menjadi manusia-manusia yang mulia di hadapan Sang Maha
Dan doa meminta perlindungan atas hidup yang singkat ini, sekiranya kami masih diberi satu hari lagi

Setelah mengakhiri doa,
Kurapikan tiap helai rambut putihnya yang mulai rontok itu
Menyisirinya, mengikatnya jadi buntut kuda, meski kadang aku melewatkan helai rambut di sisi telinganya
Dulu…

Dan kini…

Tentang ranjang yang sudah kosong

http://nitroz.site90.net
Menandakan bahwa tak ada sesiapapun di sana
Mengisyaratkan adanya ketiadaan
Dia yang kita kasihi sudah tak lagi butuh ranjang itu
Karena ia telah tidur dalam keabadian
Tak ada lagi suara batuk dan berdehem di antara mimpi-mimpinya
Semua tergantikan oleh suara kidung-kidung indah dan merdu di alam nirwana

Tinggallah aku, dan seisi rumahku menghayati arti keberadaannya
Lewat sebuah ranjang kosong dan dingin, yang dengan sengaja tetap dibalutkan seprai untuk menjaga keindahannya
“Dia pernah tidur di sana”, kataku dalam hati
Ranjang itu membisu,
Walau mungkin ingin,
Ia tak bisa ceritakan apa saja mimpi yang pernah ia lewatkan bersama orang yang terkasih

...
Itulah mengapa aku selalu suka memandangi ibuku tertidur di atas ranjang kapuknya
Dengan begitu, aku selalu bisa bersyukur dan menikmati perasaan lega sambil berkata dalam hati,
“Oh, dia masih tidur. Dia masih ada di sana”



Dan perlahan-lahan menutup kembali pintu kamarnya yang tadi kubuka,
Hanya untuk sekali lagi memastikan pada diri sendiri bahwa,“Ya, dia masih ada di sana”




Jatinangor, 21.5.13
Catatan sendu di Selasa yang haru