Tentang biru, tentang abu-abu
Suatu kali, pernah kutantang diriku
Untuk membuka mata lebar-lebar, selebar fantasiku
Menatap hingar bingar dunia
Bergerilya, antara fakta dan realita, dalam satu sisi waktu
Yang sialnya tidak pernah terhenti dan membatu

Dadaku sesak
Bukan karena tertimpa, tertindih atau apa
Nafasku tertahan
Ingin muntah, muntah, dan muntah
Aku berkaca, mataku nanar
Dan yang kulihat di pantulan bola mataku hanyalah bayangan yang bukan diriku
Lalu?

Aku membisu

Terkadang kegilaan dan kewarasan sulit untuk dibedakan
Kapan kau akan disebut gila?
Kapan kau akan disebut waras?
Tak ada batasan
Bagi orang sinting kau mungkin waras
Bagi orang waras kau mungkin gila
Atas dasar apa?
Bukankah tak ada ukuran pasti di dunia ini?
Terserah
Kita bebas memillih, bahkan untuk hidup atau mati
Yang jelas, hari ini aku memilih bersetubuh dengan hidup
Menikmati sentuhan demi sentuhan yang walau pada akhirnya akan bermuara pada kesakitan
Nyeri di tulang, dada, dan punggung belakang

Aku menyerah pada keadaan
Lalu memutuskan untuk sejenak mata ini memejam
Memberi jeda pada rongga dada
Menahan nafas, melihat hitam, lalu meninggi mengangkasa
Kulihat biru setelah abu-abu
Gradasi warna hitam dan putih yang selalu membayangi sudut kiri kanan mataku
Aku (mungkin) suka bagian itu
Bagian dimana aku mulai ragu-ragu tentang segala sesuatu
Itu... Itulah aku!

Aku membiru sebelum menjadi abu
Dikembalikan pada wujud asalku
Keberadaan dari ketiadaan
Setelah ada, muncullah tiada
Aku kehilangan, kemudian menemukan
Lagi menemukan, kemudian kehilangan
Demikian seterusnya
Mengenalku, bukan berarti memahamiku
Pada akhirnya aku mengaku
Bahwa aku sesungguhnya bukan benda imajiner di dalam kepalamu
Aku ini rumit, aku ini sederhana




Aku ini Ira....