Sembilan lima belas, waktu Indonesia bagian barat.

Malam tadi aku banyak bermimpi

Bermimpi tentang mimpi yang dimimpikan oleh seorang pemimpi kelas teri; aku

Sekilas telingaku berdengung karena tanya demi tanya yang masih belum terjawab sampai kini, detik ini
Mencoba membobol gendang telinga, menggedor berkali-kali dan tanpa henti
Menuntut seseorang atau sesuatu dari hati untuk segera menjawab dan menyahuti
Meski aku sendiri tak tahu pasti, kapan semua mimpi bisa jadi nyata, 
senyata rasa nyeri yang kadang masih menggegerogoti kepala yang sebundar ini

Apa yang dilakukan seseorang di belakang layar?
Banyak.
Menenggak kafein bersama sebatang nikotin
Atau kafein yang dikawini oleh dopamine,
Hanya bila ingin segera bertemu pendahulunya di sana: surga atau neraka

Kontemplasi malam tadi berbuah sesuatu, tampaknya
Menyanjung-pujikan keikhlasan hati dalam berbuat dan melakukan
Tanpa iming-iming ini atau itu

Namun ketika kita menjejak kaki di ambang batas, masihkah kita menjadi “manusia”?
Hati ingin memberi, tetapi dunia menolak.
Kaki ingin melangkah, tetapi jalanan telah memagari dirinya dengan kawat-kawat berduri
Tangan ingin menolong, tetapi manusia telah lebih dulu membiarkan dirinya tenggelam dalam keotomatisan dunia yang katanya serba instan ini
Telinga ingin mendengar, tetapi ternyata mulut-mulut yang terkatup telah terlalu lelah berbicara lewat urat-urat halus berwarna warni
Hanya menyisakan kesenyapan yang memuakkan
Menihilkan siluet diri
Bahkan bayangan pun tak lagi diakui
Dan pengakuan untuk sebuah eksistensi hanyalah tingaal segenggam basa basi
Yang memang benar-benar basi.
Basi!