Seloyang pizza, Sejuta cerita



Mendung. Dan hari itu berhujan.


Cuaca mendung memang paling sering membuat perut, ah, mulut lebih tepatnya, jadi lebih berbahaya dan rakus dibanding pada hari dengan cuaca-cuaca cerah yang bertemperatur normal dan biasa.


Ya, hari itu aku benar-benar merasa ingin sekali makan Pizza. Pasti kalian bertanya-tanya, kalau memang ingin, kenapa tak segera dibeli saja? Atau mudahnya, sekarang ‘kan ada carcep (cara cepat) via delivery order, tinggal pencet tombol tilpun, lalu Pizza Boy pun akan datang mengantarkan ke tujuan.


Masalahnya adalah, meski ingin, namun apa daya Pizza Boy tak akan sanggup mengantarkan seloyang pizza ke perkampungan kecil macam ini. 


Begitulah, di kecamatan mini ini tak ada satu pun café atau resto yang sedia pizza enak seperti di kota-kota besar lainnya di Indonesia. Miris. 


Hah! Lupakan… 


Ya, kualihkan hasrat terpendam dan rasa ngidam pizza itu kepada cemilan lain bernama ‘risoles’. 

Memang siiih, keduanya sama-sama berbahan dasar tepung, tapi agaknya risoles ini lebih melempem daripada pizza, bentuknya juga agak abstrak nan absurd begitu… tapi sudahlah, yang namanya lapar daun singkong dikasih mayonnaise juga rasanya udah kayak salad di lidah (terpaksa).


***

Tentang pizza dan kita


Waktu itu dia berkunjung ke kotaku, semasa aku liburan kami memutuskan untuk mengatur pertemuan yang keduaribuduaratusduapuluh kalinya… (lebay! Pertemuan waktu itu adalah pertemuan ketiga kalinya), ya, harap maklum, itulah sulitnya kalau menjalani LDR-LDR-an macam ini, serba susah untuk ketemuan. 

Doski sibuk cari makan, eike sibuk cari masalah. 
Jadi kalo keduanya digabungkan kami memang sedang sibuk ‘makan masalah’ atau sedang sibuk ‘mempermasalahkan makanan’? :p whatever…


Hari dimana kami memutuskan untuk ‘nge-mal’ ([n] mal;sekumpulan gedung berisikan macam-macam toko di dalamnya, [v] ngemal; ‘melakukan aktivitas berputar-putar di mal tanpa tujuan dan arah yang jelas dan pasti (apaasssiiiiihhh…)). 


Ya, kami memutuskan berjalan-jalan di mal sambil melakukan belanja-jendela (window shopping.red) ke sana kemari. Hari sebelumnya memang kami puas menjajal eksotika air terjun dengan telaga biru-beningnya di daerah pegunungan sana, jadi ya, tak masalah jika hari ini mengagendakan pelesiran singkat padat merayap di gedung bertingkat. 


Setelah penat, rasa dahaga muncul di pangkal tenggorok, pertanda kami harus menenggak satu atau dua gelas air atau sejenisnya untuk mengusir dahaga itu. 
Plus, perut pun sudah memulai aksi demo dengan membuat kegaduhan dan mulai dangdutan di sana sini. Oke, ini pertanda kami harus segera menemukan tempat untuk bertengger dan menyantap penganan dan minuman yang mengenyangkan dan menyegarkan. 


Setelah melihat-lihat, café, resto, warung, kios, kantin, foodcourt, rasanya kenapa tak ada ya yang menggugah selera?

Malas rasanya kalau harus makan yang itu-itu saja, maklum, menu umum yang tersaji di republik ini kebanyakan didominasi oleh nasi dan ayam-ayaman.

As we know, makanan pokok kita ‘kan memang nasi. Sedang kami, di perantauan, kami sudah jenuh dan bosan makan menu dengan formula 3T + 1A (tahu, tempe, telur & ayam).  

Lihat betapa kami bosannya?

Hampir semua yang berkaitan dengan ayam sudah kami makan. Telur (asal muasal ayam), lalu kemudian ayam itu sendiri pun kami makan, jika keduanya sudah dimakan, lalu apa lagi yang kurang selain sisanya hanyalah kandang.

Alternatif lain ada, “ikan”. Tapi sulit menemukan menu ‘ikan-ikanan’ di mal macam ini, takutnya sih ikannya kurang segar, ngga tahu harus mencari dimana, takut membuang waktu juga. 


Akhirnya kami memutuskan untuk makan di Pizza Huh* (*no promotion here, plis…) yang ternyata dipenuhi bejubel manusia yang datang entah darimana (memang hari itu banyak sekali orang, tapi kenapa harus semuanya menumpuk makan di Pizza Huh ya???) 


Menu disodorkan. 


Waitress yang ramah dengan senyum cerah menawarkan beberapa menu yang katanya lagi program promo. (padahal sekarang ini yang lagi nge-trend kan program diet?)


“Ini menunya, Kak, Bang. Kita bulan ini lagi ada promo menu paket… dan Bla bla bla… (aku tak ingat lagi dia ngomong apa, dia bicara hampir sama cepatnya dengan kecepatan cahaya :p) 


Siplah. Kami membuat pilihan. 


Ya, seloyang pizza “American favorite” ukuran Medium yang dianggap lebih fresh dan cukup mengenyangkan ngga akan bikin perut eneg karena komposisinya lebih variatif dan potongannya ngga akan kurang ngga akan lebih. 
Ukuran M memang pas dibagi berdua (apalagi bagi kami yang waktu itu seperti singa kelaparan, pasti dikupas tuntas pizza seukuran itu). 


Oh iya, itulah sebabnya kenapa aku jarang sekali makan pizza kalau hanya sendirian. 
Sulit mengukur kadar kemampuan konsumsiku,  ukuran Small memang cukup, tapi aku tak terlalu suka makan yang ukuran mini begitu karena topping pizzanya cuma sedikit dan ketebalan rotinya hampir sama tebalnya dengan roti bantal kodian, tak terlalu enak. (Ini dia konsumen yang ngga mau rugi, terlalu itung-itungan)



Setelah menulis pesanan, kemudian dilanjutkan dengan sebuah penantian, karena orderan sudah dalam daftar, ya kesabaran harus diuji sejenak. Untunglah tak lama kemudian pesanan pun datang.


***

Santapan mini, Obrolan maxi


http://junkfoodnews.net/wordpress
Sambil membagi seloyang pizza dengan pisau (lebih mirip spatula sih, itu namanya apa ya??)  dan kemudian dia meletakkan sepotong irisan pizza berbentuk semi-segitiga sama kaki ke atas piringku. Lalu dia melakukan hal yang sama untuk dirinya sendiri, hihihi… (what a gentle..)


Kami pun mulai dengan ritual pertama: menuangkan saus dan sambal ke atas pizza. 

Sambil mengunyah, sambil mengiris, sambil menyeruput minuman segar, semua dilakukan dalam serangkaian aktivitas makan siang yang menyenangkan itu. 


Dia pun memulai pembicaraan, dan aku  tekun mendengarkan. 


Sambil mengunyah pelan-pelan, aku memaksimalkan fungsi tiga penginderaan sekaligus waktu itu: telinga yang baik untuk mendengarkan suaranya di antara kegaduhan dan riuh-rendah obrolan orang-orang di sekitar, lidah yang tajam untuk mengecap rasa nikmat dari setiap kunyahan pizza di dalam mulut, dan mata yang terus memperhatikan dia yang sedang berbicara di hadapanku (we gotta keep that eye-contact anyway


Aku senang. 


Barangkali ada benarnya ya, di meja makan setiap orang akan menjadi lebih terbuka dalam bercerita, mungkin karena pada saat makan kita akan menjadi lebih santai sambil menikmati tiap rasa nikmat yang dihadirkan oleh irisan demi irisan makanan. 


Dia berbicara banyak waktu itu. Tentang macam-macam hal seputar hidupnya. Tentang kesenangannya, kesulitannya, kekesalannya, kegelisahannya, dan banyak lagi.


Dan aku sedang dan senang mendengarkan.


Tak disangka, aku yang asyik melumat potongan pizza dalam mulut sudah menuangkan terlalu banyak saos di atas pizzaku.Tak bisa meng-undo tuangan saos itu, aku terpaksa melahap segalanya dengan penuh percaya diri. Dan...

Jelas bisa ditebak apa yang kemudian terjadi, kan? (*__*)

Ya, tak berapa lama berselang perutku yang ringkih ini mulai berontak. 
Kebanyakan diisi saos ya begini ini jadinya, mules. Hahaha… (Sumpah, waktu itu rasa maluku lebih besar daripada rasa mulesku, Bang. :p)


Ya, demikianlah. Singkat cerita, semuanya berakhir bahagia. (Sengaja tak mengekspos hal yang tak patut, hehehe)



***

Di antara rasa ingin makan pizza dan rasa rindu untuk makan bersamamu


Itu… barangkali memang baru dua-tiga bulan yang lalu, bukan? 


Entah, tapi rasanya tiap kali melihat pizza, rasa inginku muncul. Ngidam makan pizza, tapi aku juga tak ingin makan sendirian.

Aku ingin makan bersama, selain untuk menghindari ukuran pizza yang kekecilan (penting ngga sih?) tapi di atas semua itu, ingatan tentang kebersamaan denganmu waktu itu adalah sebuah kebahagiaan. 


Ya, kau telah berhasil mengingatkan betapa pizza itu lezat dan lebih lezat lagi kalau dimakan bersama-sama denganmu, begitu barangkali?


Yang jelas, kalau di kemudian hari kita menyantap pizza lagi, tolong ingatkan aku untuk tak dengan keranjingannya menuangkan saos di atas pizzaku ya? lambungku tak kuat menanggung beban seberat itu…  Haaiiyaaahh!


Begitulah.


Pizza dan kamu, memang sama-sama membuat rindu.  

Bedanya, pizza tak akan dinikmati jika dimakan sendirian  tanpa kehadiranmu, namun aku akan sangat menikmati keberadaanmu meski tanpa kehadiran pizza sekalipun.



-End-

Sabtu pertama di minggu pertama dan bulan pertama tahun baru, yang sudah kesekian kali dan kesekian kalinya kulewatkan tanpamu.

04.01.2014.