Jadi ceritanya, saya sudah hampir 6 bulan (sejak tesis-yang dengan susah payah akhirnya- selesai juga) tidak menulis sesuatu yang non-ilmiah. 
Entahlah, sulit lagi rasanya untuk memulai sesuatu yang sudah lama tak dikerjakan, meskipun itu adalah hobi, tapi kehilangan selera karena sudah dibiaskan dan dibiasakan untuk terus serius membaca dan memikirkan hal-hal ilmiah, akhirnya kreativitas dan mood untuk menulis ambyar, ludes, des, des, ditelan teori-teori linguistik. 

Well… tapi jika memang ada kemauan, ini pun harus dipatahkan, bak kata Chaedar A. “Pokoknya Menulis!”, ini juga yang menohok saya… Kok patah semangat, mulai saja belum, kenapa malah berhenti?

Oke, saya coba untuk menulis lagi.Kali ini non-ilmiah lah...
***

Satu pagi di bulan Agustus, di tahun 2009… 
Hari itu menyelip di antara tanggal-tanggal di almanak bulan delapan, tak ada yang khusus, tak ada yang spesial, tak ada yang istimewa, semua terasa biasa, terasa rutin dan sederhana. 

Langkah terburu dengan irama tak beraturan mengantarkan aku menuju kampus pagi itu. 
Ya, seperti biasa, kuliah akan dimulai pukul delapan pagi. 
Katanya sih, “delapan Teng!”, nah lho… sementara aku masih berburu jalan setapak menyusuri kepadatan motor-motor berseliweran juga diselingi sepeda, becak bermotor, dan puluhan mahasiswa lainnya yang juga berkasus sama: Nyaris Telat.

Aku, entah kenapa di penghujung masa kuliah S1 cukup mencetak rekor di dunia keterlambatan kehadiran di kampus untuk kuliah pagi, bahkan tak jarang nilai kehadiranku selalu di”minus satu”kan oleh dosen yang mengampu mata kuliah pertama di pukul 08:00 WIB. 
Tak masalah, mungkin karena sudah (di)biasa(kan)?
Kelonggaran soal waktu pagi itu aku terima, mungkin, ya, seingatku memang bulan itu adalah bulan puasa, jadi wajar saja kalau ada kelonggaran sedikit, sayangnya aku tak bertanggung jawab, memanfaatkan situasi itu, hahaha, tak patut ditiru.

Jam demi jam berlalu, dua mata kuliah selesai. Karena tak ada aktivitas lain, akhirnya aku mengiyakan mengikut temanku nongkrong di kampus saja sebentar…
***
Dev (teman di S1) ini pernah berkelakar soal temannya di masa SD, katanya “Aku punya teman, iya, dulu si Vic itu, anaknya paling rapi, paling bersih di antara teman-teman lain yang ada di kelasku… Yang lain pada gadel, pada buluk, tapi dia berbeda, …”
Cerita itu panjang, kesudahannya membuat aku tertarik, “Apa iya masih ada laki-laki macam itu di dunia antah berantah ini?” telisikku dalam hati. 

Tawarannya untuk berkenalan dengan teman lamanya semasa SD itu aku terima, kenapa?

Entah.

Aku terbilang unik, karena mendengar cerita temanku ini, aku jadi tertarik. Teman SDnya itu orang yang seperti apa, pikirku… aku penasaran.


Kebetulan hari itu, Vic berkunjung ke kampus kami, hanya sekedar untuk say hi ke temanku Dev, barangkali untuk refreshing juga dari kondisi monoton di kotanya, yang juga sedang mumet-mumetnya membereskan skripsi (waktu itu kita sama-sama kuliah di semester penghabisan). 
Wajar sajalah, pikirku. Ini sih seperti kunjungan teman lama biasa. 
Tunggu… Tapi, apa mungkin ada sesuatu yang spesial ya antara dia dan temannya itu? Entah, aku pun ingin tahu tapi menolak untuk mencari tahu.  

Singkat cerita dia datang dan kami menjanjikan untuk bertemu di depan gedung H (Gedung Prodi Sejarah) di FIB itu. 

Melihat Dev, dia tersenyum, mengulurkan tangan dan bersalaman sambil bercengkerama tentang kehidupan sekolah dasarnya di kampung mereka. 
Aku waktu itu memilih diam, mengamati, dan biasa saja menanggapi obrolan mereka. Tak ada yang khas.

Tak berapa lama, Dev memperkenalkan aku, “Ini Ra, yang dulu aku pernah ceritakan,” katanya. 
Dengan ekspresi tanggap cepat aku menyambut jabat tangannya “Oh, ya, ya, Dev banyak cerita tentangmu…,” timpalku. 

Dia mengernyit bingung, “Banyak cerita? Dev, cerita apa aja???” 

Hahaha, barangkali dia takut ada cerita yang terpeleset yang sampai ke telinga? Biasa sajalah, tak ada yang salah kok.

***
Mulai lapar.
Waktu itu segala rumah makan dan kafetaria tutup (karena  bulan puasa), tapi kebetulan, ada satu yang (setengah) buka. Kami memutuskan untuk setidaknya minum di sana.
(Biasa. Biasa sekali.)

“Dua es teh ya Bang!” katanya memesan ke penjaga kantin. 

Kenapa es teh? 

Ya jelas, karena hari itu memang super panas dan terik, apalagi Medan memang akhir-akhir ini memanas sekali suhunya, entah karena kebocoran ozon atau karena waktu itu lagi musimnya Pilkada.

“Satu teh manis panas ya Bang,” giliranku memesan.

Raut muka yang menyiratkan kebingungan muncul di wajahnya. 

Aku tahu persis, apa yang dipertanyakannya dalam hati :”Kenapa di hari sepanas ini, dia malah pesan minuman yang panas?”

Simpan itu dalam hatimu, pikirku. Nanti kau pasti temu jawabannya.

Sejam mengobrol sambil menghabiskan minuman, kami kemudian berpisah.
Mereka memutuskan untuk pergi lagi ke lain tempat, shopping atau bertemu teman lain barangkali, dan aku memutuskan untuk pulang, makan, lalu tidur siang.

***
Lalu? Apa yang spesial?
Tak ada.

Sampai dia memutuskan untuk mengalahkan rasa penasarannya tentangku, dan aku memutuskan untuk menerima tantangan tentang penasaran itu.
Lalu,
Siapa yang menyuruhmu, memberanikan diirmu untuk meminta nomor ponselku malam itu? Entah.

Siapa yang membuatku menerima pertanyaanmu dan menjawabnya dengan balasan pesan singkat malam menjelang subuh itu? Entah.

Apa yang membuatmu penasaran dengan pesananku di kantin (si teh manis panas) itu? 

Kenapa kau ingin tahu kenapa aku memesan itu?

Bagaimana kau bisa menebak isi kepalaku yang juga penasaran tentangmu? Entah.

Siapa yang menduga kita bertemu di hari yang biasa, dengan situasi dan suasana yang juga biasa, akhirnya membawa kita kepada sesuatu yang luar biasa dan sangat tidak biasa? Entah.

Siapa yang menduga segala yang sudah terjabarkan lewat berbagai cara, surat dan sirat, membuat kita semakin sadar bahwa ini bukan sesuatu yang mudah?

Siapa yang menduga pada akhirnya kita memutuskan untuk membawa perasaan kepada sesuatu yang lebih dalam? Entah.

Siapa yang bisa menduga, kita, yang masing-masing adalah pemikir dan pendiam, bisa bersama-sama menyelesaikan masalah dan konflik dalam bahasa yang santun dan penuh etika? Entah. 

Siapa yang bisa menduga, akhirnya kau dan aku memutuskan untuk bertemu, sekedar bertegur sapa, dan kemudian akhirnya menyatakan pada semesta bahwa “Ya, dialah orangnya”? Entah.

Segala tanya itu, segala entah itu, akhirnya kurangkum dalam sebuah tulisan yang terkesan klise.
Tuhan, lewat semesta ciptaan-Nya ini, memang paling bisa mencari cara untuk mempertemukan partikel-partikel yang tarik menarik, barangkali?

Katanya, hati akan terus mengembara kemana dia ingin mengembara, hanya untuk menemukan getaran yang sama dengannya. 
Lucu. 
Segala yang terjadi aku yakini sebagai master plan Sang Maha.
Semesta memang tak pernah bisa ditebak, apa maunya, apa hendaknya, tak bisa diketahui pasti.
Demikianlah, kita.

Lima tahun sudah menyusuri segala garis-garis tanda tanya dan tanda-tanda lainnya. 
Berusaha merangkai cerita di dalam jarak spasial yang membentang.
Tak habis pikir aku, keputusan berat ini diambil dengan begitu beraninya. 
Jarak, bagi kita seolah perkara biasa yang bisa diselesaikan oleh komitmen dan keyakinan.
Itulah kita.

Unikmu memang menjadi pemantik rasa ingin tahuku.
Unikku memang menjadi pemantik rasa ingin tahumu.
Kita unik. Kita berbeda.

Ya. terima kasih Semesta, terima kasih Sang Maha.
Jutaan manusia di luar sana, ada berapa yang dipertemukan dalam skenario yang sepertinya sebuah kebetulan namun bukan kebetulan?
Tentu ada. Banyak, barangkali.
Dan kami adalah satu di antaranya.

Note:
Setelah mengenal aku selama 5 tahun, akhirnya dia jujur tentang pesananku di kantin waktu itu, dalam hati dia berpikir “Kenapa tua sekali pesanan cewek semuda ini? Pesan teh manis panas di hari yang panas, cocoknya adalah pesanan yang diminta Bapak-Bapak paruh baya, atau Oppung-Oppung*  berusia senja.”
"Sialan!", pikirku.

Hahaha.
Setelah aku ceritakan alasannya, dia bisa terima. Iya, aku terpaksa menebalkan muka, semua demi kesehatan badan.

***
Lima tahun yang tak mudah sudah kita lalui, dua tahun yang mempertegas keadaan ini pun sudah kita nikmati dalam segala pasang surutnya… 
Yakin dan pasti, tahun-tahun di masa yang akan datang pun akan teratasi dengan senjata pamungkas kita: komitmen akan cinta kasih dan keyakinan.
Semoga akan ada tahun-tahun mendatang untuk kita ya, Meine Liebe.
Happy 2nd Anniversary of Our Official Relationship, :p
Memperingati 23 Agustus 2012-23 Agustus 2014.
(maaf baru kasih tulisan flashback, baru ada mood lagi untuk nulis, Bang.) :D