Kataku aku akan ‘pulang’, tapi entah kenapa rasa-rasanya raga ini saja yang sepertinya sedang melayang-layang, menerawang jauh sampai tak terlihat di awang-awang…
Mengangkasa, mencari dan mencari tapi tak pernah menemui…

Soal hari kemarin: aku tak lagi peduli, atau sebut sajalah aku (berusaha dan memaksa) untuk tak lagi peduli,
Meski mereka bilang masa lalu adalah sesuatu yang tak pernah selesai berurusan dengan kita yang di masa kini, sama halnya jika menyoal masa depan.

Tapi sekali lagi, inginku agar kau tak selalu mengabaikan apa yang kau anggap sudah ‘dibelakangmu’,
Mungkin aku atau mereka adalah masa lalumu, tapi jangan buang itu!
Jangan campakkan begitu! bisa jadi apa yang kau sebut masa lalu akan menunggu di gapura halaman rumahmu sebagai sosok yang telah lama kau kenal dan mungkin saja, ya, waktunya sudah tiba… kau sambut ia sebagai masa depanmu!

***

-tentang sesuatu yang masih belum bisa kudeskripsikan-

Bisakah aku menyebut diriku sedang kecewa?
Tapi soal apa aku harus kecewa? Tak ada yang menyulutnya…

Kecewa terhadap rekayasa yang terlihat sebagai sesuatu yang ‘bukan rekayasa’, tapi malah lebih kepada sesuatu yang ‘nyata’ dan bukan 'kebetulan' belaka?
Aku harus kecewa?
Aku harus menyesal?
Aku harus marah?
Sungguh, sama sekali tak ada benang merah ke arah itu...

Kusebut ini sebagai sesuatu yang ‘tidak normal’, ‘tidak jelas’ atau ‘tidak berbentuk’?
Rasa nyeri yang tidak berasa…
Hanya dibahasakan sebagai kesakitan yang tidak menyakitkan…
Sekarat? Oh, ini tidak sampai begitu jauhnya, sepertinya…

Tapi agaknya aku mencoba menggunakan penanda bahasa yang lain untuk mengkonversikan keganjilan ini…
Sesuatu yang… ‘tidak biasa’?
Samakah itu dengan kata ‘abnormal’, ‘ganjil’, ‘aneh’, ‘unik’, ‘berbeda’ dan sebagainya?
Samakah??

Kalau kau sudah punya jawabannya, segeralah beritahu aku…
Sebab aku tak mau terlalu lama lagi menunggu sebuah kamus atau seorang ahli bahasa yang sanggup memberikan makna verbal dan non verbal soal ini untuk waktu yang terlalu lama.

Tapi aku ingin mengujinya… aku merasa sedikit tertantang untuk doktrin seseorang yang menganggap dirinya dewa yang punya daya sakti untuk menyembuhkan itu…

“Benarkah? Apa mungkin demikian?” Pikirku…

Apa dia Tuhan? Bukan… dia jauh dari wujud Maha Sempurna itu.. masih terlihat noda dan codet disana-sini di setiap lekuk tubuh dan tutur katanya.

Lalu… apa dia peramal? Uh..bukan juga, rasaku.
Dia terlalu cemerlang untuk diibaratkan seperti seorang cenayang murung yang bergelayut dalam gelap malam dan temaram.

Jadi… siapakah dia yang sudah dengan ringannya menuliskan rahasia mantera yang akan menghancurkan ‘kutukan’ yang ada pada diri seseorang saat itu?

Dia bukan siapa-siapa! Dia hanya manusia, makhluk antara: ada diantara keyakinan dan keragu-raguannya, bahkan disaat yang bersamaan!
Jadi untuk apa aku percaya?
Bahasa memang untuk dibahasakan dengan perantara kata-kata…
Sanggup membangun sekaligus menghancurkan yang mendengarnya.

Tapi bahasa yang seperti sihir magis itu tak akan aku akui sebagai ‘penghancur kutukan’, karena memang dia bukan siapa-siapa dan tidak akan menjadi siapa-siapa.

Aku tak ingin melemah dan mengalah…
Ingin kutantang apa yang dia sebut sebagai kutukan… tidak!
Kalaupun aku harus menahankan semuanya, rasa pahit dan manis sekaligus, akan kulakukan.
Sudah tak ada bedanya, toh aku akan berjalan menuju keberhinggaan hidupku, kenapa mesti memberang?

Iya…
Aku akan…


29.05.11