Hmm…
bagiku tak masalah jika pertemuan yang lalu itu dianggap sebagai sebuah ‘titik temu’, 
karena sebenarnya memang demikian.

Kesampingkan soal “titik”, 
“titik” itu hanya sebuah “tanda”, atau lebih tepatnya “momen” pertemuan itu sendiri.  (setidaknya begitulah bagiku…)

Dua garis –yang tadinya mungkin berjalan dari arah yang berlawanan- akan lebih nyata perpotongannya jika tepat pada satu titik. 
Dan titik membuat perpotongannya menjadi semakin jelas, bukan? 
Titik itu kelak menjadi titik seimbang, 
ibarat titik equilibrium dalam sebuah grafik supply dan demand, hahaha... 

Dan di sanalah keseimbangan itu kita temukan. 

Setelah merasa perlu untuk saling menemui, maka sesuatu setelah pertemuan itu kita temukan. 
Mungkin ini bisa kusebut sebagai “refleksi diri”
Cerminmu adalah aku, cerminku adalah kamu. 

Dan dari titik dimana kita berpijak saat itu, aku semakin sadar bahwa aku tak sendirian, setidaknya karena aku merasa semakin mencintai apa yang ada dalam diriku,
Berusaha untuk mengurai makna dari setiap ujaran, mimik dan bahasa yang mungkin tak lagi sanggup dibahasakan dalam kata-kata. 

Lebih dari itu. Semuanya berawal dari sebuah keinginan untuk bertemu, lalu ternyata kita telah saling ‘menemukan’.